Kamis, 02 April 2015

Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Muhammad bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid



    Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Muhammad bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid

Kehadiran ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan hasil denganbanyak diwacanakan kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktikkannyaekonomi Islam di ranah bisnis modern seperti halnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank. Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang tiba-tiba datang begitu saja.
Ekonomi Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik telah hadir secara bertahap dalam periode dan fase tertentu. Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan hidup bagi seorang manusia adalah suatu fitrah.
Pemikiran ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah selanjutnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah, sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabadabad yang lampau.

Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
            Pada kesempatan ini kita akan menbahas para pemikir isalam pada masa klasik yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan, dan Abu Ubaid. Para tokoh ini merupakan para pemikir islam dibidang ekonomi yang sangat handal.


 Abu Hanifah(80-150 H /699 –767 M)
Biografi Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M. Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia.
Ia lebih populer dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang dinamakan Hanifah, ini menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain, sebab ia mendapat gelar Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif” dalam bahasa Arab itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan “Abu Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena perkataan “Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat” atau “tinta”. Yakni ia di mana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau lainnya. Dengan demikian lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.[1]
Pertumbuhan dan kehidupannya
Sebagian besar hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani Umayyah, sisanya dalam masa Bani Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan Bani Umayyah di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan meninggal dunia pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur.
Kehidupan Abu Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu sudutnya. Ia hidup bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota Baghdad tempat berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya kajian dan para pengkaji, diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang beragam di suatu saat dan yang bertentangan di saat yang lain.
Wilayah ini memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya memiliki kesiapan tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya para ulama ke wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh khilafah Abbasiyah sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat dan strategis.
Ketika itu, di Irak terdapat banyak perbudakan. Tren nyanyian berkembang dan sebagian orang menjadikannya sebagai sarana untuk minum-minuman keras. Masyarakat muslim masa itu telah dihadapkan pada berbagai permasalahan yang amat kompleks yang membutuhkan lembaga-lembaga yang menangani bidang masing-masing. Butuh adanya penanganan secara islami dan pedoman tehadap batasan hak dan kewajiban antara pemimpin dan rakyat. Tak mengherankan jika Irak didominasi oleh mazhab ahli ra‟yi, tak mengherankan pula jika kita jumpai bahwa pemikiran Abu Hanifah terpengaruh oleh berbagai kondisi masyarakat ini, yakni pemikiran yang cenderung rasionalis. [2]
Disamping menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara‟ dan takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits. Ketika ia berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji bersama ayahnya dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi. Dari ulama ahli hadits ini ia meriwayatkan sabda nabi SAW: “Barang siapa mendalami agama (tafaqqahu), maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhannya dan memberinya rizki secara yang tidak disangka.” Karenanya, tidak benar dakwaan sementara orang yang menuduh Abu Hanifah tidak meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja. Dalam riwayat yang mu‟tabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan sendiri sebanyak 215
Hadits selain hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Abu Muayyid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H), mengumpulkan musnad Abu Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di Mesir 1326 H.31.
Kepribadian dan sifat-sifatnya
Abu Hanifah dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan sahabat-sahabatnya dan tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia bekerja sebagai penjual kain dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak menyukai pembicaran duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita ia menguraikannya secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia mengatakan: “Akalnya lebih cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang menghapuskan kebaikan-kebaikannya”.
Tentang ke-wara-an Abu Hanifah, ia menolak jabatan hakim (qadhi) pada masa pemerintahan bani Umayyah dan Abbasiyah. Yazid bin Hubairah, gubernur Irak pada pemerintahan bani Umayyah, menyiksanya karena tetap menolak menjadi hakim. Pada pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur, khalifah kedua dari Bani Abbas, ia dipanggil untuk pindah ke Baghdad. Saat itu al-Mansur memaksa dan bahkan bersumpah agar Abu Hanifah menerima untuk diangkat sebagai hakim, tetapi ia juga bersumpah untuk tidak menerima jabatan selamanya.
Abu Hanifah begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari kekangan penguasa. Sebab hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu Hanifah memperjuangkan kebebasan berpendapat dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Demikianlah dalam diri Abu Hanifah berkumpul ilmu orang rasionalis yang paling masyhur dan ilmu seorang wara‟ yang paling wara‟.[3]
Pengembaraan Menuntut Ilmu
Abu Hanifah belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-Nakha‟i dan asy-Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakha‟i dan asy-Sya‟bi tidak selama dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama 22 tahun. Setelah berumur 40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di Masjid Kufah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu Mansur tentang bagaimana ia mempelajari fiqh. “Ibrahim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu telah membekali dirimu wahai Abu Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari orang-orang yang suci, bersih dan diberkahi
Abu Hanifah dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab. Dari dia sendiri diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Qur‟an. Keahliannya dalam fiqh mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap Abu Hanifah, diantaranya; Imam Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh menginduk kepada Abu Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin mengerti tentang fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.”
Termasuk contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf kepada Abu Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal dunia, orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah. Sufyan berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya dan dia duduk di belakang Abu Hanifah.
Abu Yusuf, salah satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: “Saya tidak pernah melihat orang yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu Hanifah. Ia sangat cermat dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.”[4]
Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal yang kemudian menjadi ulama besar yaitu;
Pertama, Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi yang lahir pada tahun 113 H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama kali, Abu Yusuf belajar kepada ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia berguru kepada Abu Hanifah sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama dan hafiz (ahli hadits). Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa masa kekhalifahan Abbasiyah. Ia menulis banyak kitab tentang masalah-masalah ibadah, jual beli, hudud (hukum pidana) dan lainnya. Kitabnya yang paling terkenal adalah “al-Kharaj” yang ditulis atas permintaan khalifah ar-Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai referensi utama Ekonomi Islam. Kitabnya yang lain adalah “al-Atsar” dan “al-Raad ala Sairi al-Auza‟i fi ma Mahala fihi Abu Hanifah” dan lainnya
Kedua, Abu Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir pada tahun 132 H dan meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar dengan Abu Hanifah. Ketika Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru berumur 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih sejak usia belia. Asy-Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung. Ia konsisten dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab, diantaranya, al-Mabsuth, az-Ziyadat, al-Jami‟ al-Kabir, al-Jami‟ as-Shagir, as-Sair al-Kabir, as-Sair as-Shagir, ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.
Ketiga, Zufar bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada tahun 158 H. Zufar lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian kepada Abu Yusuf dan asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal ahli qiyas. Ia seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas tentang soal-soal keagamaan serta ahli ibadah. Zufar pernah menjabat hakim di Bashrah. Pada mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka kepada Abu Hanifah. Zufar lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka secara menakjubkan sehingga mereka simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini secara kontinyu. Akhirnya banyak orang-orang yang dulu benci menjadi suka kepada Abu Hanifah.
Keempat, Hasan bin Ziyad al-Lu‟luiy al-Kuti yang meninggal dunia pada tahun 204 H. Ia sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid sekaligus sahabat Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H dan menulis beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Ma‟ani al-Iman, an-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-Amali.[5]
Pemikiran Abu Hanifah
Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifa mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderug mengarah pada perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dahulu, dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.[6]
Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual beli. Abu Hanifah sangat memperhatikan pada orang-orang lemah. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tanah tidak menghasilkan apapun. Hal ini untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.Beberapa karya yang dihasilkan antara lain : Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, sebuah kitab hadist yang dikumpulkan oleh para muridnya dan Al-Fiqh Al-Akbar.[7]
 Aba Hanifah juga berpendapat agar  mempermudah dalam hal urusan ibadah dan muamalah. Misalnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian terkena najis, maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air bunga mawar, cuka, dan tidak terbatas pada air saja. Dalam hal zakat, Abu Hanifah membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar zakat.
            Berpihak pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu dikumpulkan untuk kemaslahatan orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat, orang yang punya utang tidak wajib membayar zakat jika utangnya itu lebih banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas kasihnya kepada orang yang punya utang.
Pembenaran atas tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Abu Hanifah berusaha menjadikan amal manusia itu benar dan diterima selagi memenuhi syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa Islamnya anak kecil yang berakal tapi belum baligh dianggap sebagai Islam yang benar seperti halnya orang dewasa.
Menjaga kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Karena itu Abu Hanifah tidak mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh dan dewasa atas orang yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri sendiri dan nikahnya sah.
Kendali pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena itu, kewajiban seorang imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur kekayaan umat Islam yang membentang luas di atas bumi untuk kemaslahatan umat. Kewajiban lainnya adalah pengaturan kepemilikan tanah mati (bebas) bagi yang mengolahnya yaitu menjadikannya lahan siap pakai.
Kaidah-kaidah brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah layak mendapatkan gelar “Imam Ahlu ar-Ra‟yi”. Ini tidak berlebihan, karena beliau telah berjuang dan berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-hukum yang tidak ada dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga menguasai ilmu ber-istimbath (menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat mengambil intisari yang bermanfaat bagi umat, dan tidak bertentangan dengan nashnya.
Pendapat Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan lainnya yaitu, bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan di-hibah-kan wakif kepadayang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia.
Bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak boleh menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata. Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai al-Far‟i.[8]
2.1.7 Karya-Karya Abu Hanifah
Perlu diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang mazhabnya. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang dinisbahkan kepadanya, seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan al-Alim wa al-Muta‟alim. Walau demikian mazhabnya sangat populer dan tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan murid-murid Abu Hanifah dalam mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya terutama pada istimbath yang ia rumuskan.
Diceritakan bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama menulis beberapa buku berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke berbagai daerah untuk dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau melalui karya-karyanya. Dari sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah sendiri tidak meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali apa yang dinukil oleh para murid beliau.
Abu Zahrah, menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk pertama kali disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga disebutkan oleh pengikut dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang paling terkenal dan merupakan orang yang pertama menulis buku ushul fiqh berdasarkan pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan karya Abu Yusuf ini pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi, dalam ushul fiqh.
Menurut penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua orang murid yang sangat berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak menghasilkan karya-karya yang didasarkan kepada mazhab Hanafi, seperti kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh, al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan diantara karya Abu Yusuf yang terkenal adalah kitab al-Kharaj.
Selain Abu Yusuf dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga salah seorang murid Abu Hanifah yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan mengikuti cara-cara istimbath yang telah dirintis oleh Abu Yusuf berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.
Menurut riwayat, bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi) telah membagi-bagi masalah fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni; pertama, masail al-Ushul, kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa wa al- waqi‟at.
 Pertama, masail al-Ushul yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir ar-Riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan Zufar. Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat tersebut yang kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir ar-Riwayah.
Kitab-kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu (1) al-Mabsuth atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir, (4) as-Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat. Keenam kitab tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh Syamsu ad-dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.
Kedua, masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk Zahir ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-Nawadir adalah al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan Badai‟ ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.
Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah keagamaan yang dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam Hanafi yang datang kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah hukum-hukum keagamaan, padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran dalam kitab-kitab mazhabnya terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian mereka berijtihad guna menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-Waqi‟at yang pertama kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-Samarqandi.
Kitab-kitab yang terkenal susunan ulama Hanafiah mutaakkhirin diantaranya adalah; jami‟ al-Fushulain, Dharar al-Hukkam, Multaqa al-Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd al-Mukhtar „ala Dhar al-Mukhtar yang tekenal dengan hasSelain kitab-kitab fiqh, dalam aliran Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah (1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H); (2) ushul al-Fiqh karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan (3) ushul al-Fiqh karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-Anwar.
Selain kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara kitab qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya al-Karkhi (260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H), Al-Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟ al-Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam al-Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid wa al-Fawaid karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya Mujaddidi.[9]


2.2. Abu Yusuf (113-182H)
2.2.1 Biografi  Abu Yusuf
Nama lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-Anshori.Beliau lahir di kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182H. Abu Yusuf berasal dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa arab. Keluarganya disebut anshori karena daripihak ibu masih memiliki hubungan dengan kaum anshar. Dibesarkan di kota kufah dan Baghdad yang pada masa itu merupakan pusat kegiatan pemikiran dan intelektual islam paling dinamis. Beliau berguru pada salah seorang ulama besar kenamaan yaitu nu’man bin tsabit yang dikenal dengan nama abu hanifah, pendiri madzhab hanafi. Beliau belajar pada imam abu hanifah selama 17 tahun. Begitu intensnya hubungan pribadi dan intelektual ini membuat imam abu yusuf (w. 182/798) mengambil metode dan cara berfikir gurunya itu dan turut menyebarkan paham fikihnya selama hidup. Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman pikiran, cepat mengerti, dan sangat cepat menghafal hadits. Murid-muridnya yang sangat terkenal adalah imam ahmad bin hanbal(pendiri madzhab hanbali), imam yahya bin ma’in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan yahya bin adam (seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.[10]
Abu yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi,Sulaiman bin Mahran AlA’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Beliau termasuk ulama yang banyak menggunakan ra’yu (pendapat) seperti yang menjadi ciri khas dari Fiqih Hanafiyah. Beliau dapat menempatkan kekuatan ra’yu itu dalam perspektif hadits. Keunikan beliau yang mampu memadukan dua aliran ini membuatnya terkenal sebagai seorang ulama ahli ra’yu dan hadits. Kedudukan yang unik ini sebenarnya sulit dicapai tanpa kepenguasaan ilmu yang memadai baik dari hadits maupun ra’yu.[11]
Beliau seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah dinasti Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qadhi al-qudhah). Ketika Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadhi al Quddah, beliau diminta oleh arRasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam administrasi keuangan. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab al-kharraj. Beliau telah menetapkan teori ekonomi yang sesuai dengan syariat islam. 
Karya Abu Yusuf
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah KIitab al-Kharraj (buku tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab pertama yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan. Para sejarahwan muslim sepakat bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan mengangkat tema al-Kharraj adalah Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar (W. 170 H), seorang Yahudi yang memeluk agama Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad al-Mahdi (158-169 H/ 755-785 M). namun sayangnya, karya pertama di bidang perpajakan dalm islam tersebut hilang ditelan zaman.
Penulisan kitab al-Kharraj karya Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan khalifah Harun ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, kitab al Kharraj ini mempunyai orientasi birokratik karena ditulis untuk merespon permintaan khalifah Harun ar-Rasyid yang ingin menjadikannya sebagai buku petunjuk administrasi dalam rangka mengelola lembaga baitul mal dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak terdzalimi. Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan tentang al-Kharaj saja, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan Negara lainnya, seperti Ghanimah, Fai, Kharraj, ushr, jizyah, dan shadaqah, yang dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah al-Qur’an dan Hadist).[12]
Kharaj adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilikan mengadakan perjanjian damai dengan pasukan muslim. Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Harta tersebut biasanya berupa uang, senjata, barangbarang dagangan, bahan pangan, dan lainnya. Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian penting dalam keuangan publik. Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara. Abu Yusuf mengatakan jika ghanimah didapat sebagai hasil pertempuran dengan pihak musuh , maka harus dibagikan sesuai dengan paduan dalam al-qur’an, surat al-anfal ayat 41. Pembagian khumus ini memberikan 1/5 atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah saham bagi mereka yang ikut peperangan.
Fay adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir tanpa peperangan, termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharraj tanah tersebut, jizyahperorangan dan usyr dari perdagangan.[13]
Usyr adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim maupun non muslim yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah, yang dibayar hanya sekali dalam setahun. Untuk pengelolaan zakat pertanian ditentukan sebagai berikut, jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi ditentukan 5 persen dan jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi tadah hujan ditentukan 10 persen. Bea cukai untuk pedagang muslim dikenakan 2,5 persen sedangkan untuk orang-orang yang dilindungi dikenakan 5 persen.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang hidup di negara dan pemerintahan Islam sebagai imbalan atas perlindungan hukum, kemerdekaan, keselamatan jiwa dan harta mereka. Beberapa karya tulisan beliau yang berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan peradilan serta penyebaran madzhab hanafi. Beberapa diantara karyanya adalah sebagai berikut:13kitab al-atsar, kitab ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, kitab ar-radd ‘ala siyar al-Auza’I, dan kitab al-kharraj.

Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf Cenderung memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadist Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keungan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban Negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.
1.Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara. Namun demikian, Abu Yusuf menegaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang publik muncul dalam teori konvensional tentang keuangan publik. Teori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang sosial yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang publik tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan secara langsung.[14]
Dalam hal pertanian, lebih jauh Abu Yusuf cenderung menyetujui bila Negara mengambil bagian dari hasil yang dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian yang digarap. Menurutnya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain beliau lebih merekomendasikan penggunaan sistem muqasamah (proposional tax) atau pajak proporsional pada hasil pertanian dari pada sistem misahah (fixed tax)adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Abu Yusuf merekomendasikan tarif yang berbeda dengan mempertimbangkan system irigasi yang digunakan. Tarif yang ditetapkan olehnya adalah Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai ‘canons of taxation’. Banyak sudut dalam perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan sebagai prinsip yang harus dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak pertanian. Ia menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka harus selalu diawasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi dan praktek penindasan.
Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat keislaman ini memiliki kontribusi besar dalam menetukan kewajibankewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.[15]
2. Teori Pajak
Dalam hal perpajakan Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya. Subjek utama Abu Yusuf adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari Negara. Sumbanganya terletak pada pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Dalam pembahasannya ia juga menunjuk pada lain-lain peraturan perpajakan, kemampuan untuk membayar, suatu pertimbangan untuk memudahkan para wajib pajak dalam menentukan waktu pungutan dan caranya serta pemusatan pengambilan keputusan dari administrasi pajak.[16]
3.Mekanisme Harga
Berbeda dengan pemahaman saat itu yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan produksi.[17] Abu Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan secara rinci. Bisa jadi, variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut.[18] Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth Of Nation.
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memerhatikan kurva Demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Poin controversial dalam anallisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah penngendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadist Rasulullah SAW.
“Pada masa Rasulullah SAW; harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda, tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bias mencampuri urusan dan ketetapanNya”.
Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah supply bahan makanan dan mereka menghindari control harga. Kecenderungan yang ada pada dalam pemikiran ekonomi islam adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya, dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.[19]
Abu Abdillah Muhmmad bin Al Hasan (Al-Syaibani) 132-189H 
Biografi Abu Abdillah Muhmmad bin Al Hasan (Al-Syaibani)
Abu Abdillah Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban diwilayah jazirah Arab.Bersama orang tuanya, Al-Syaibani pindah kekota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu pusat kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadits kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik bin Mughul. Pada periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Seteah itu, ia berguru kepada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu Hanifah, sehingga keduanya tercatat sebagai penyebut mazhab Hanafi.[20]
Pada saat menuntut ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits.Ia layaknya para ulama terdahulu, berkelana keberbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syirya, Basrah, dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’i ketika belajar al-Muwattahpada Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.Al-Syaibanimenjadi lebih banyak mengetahui berbagai hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah. Dari keluasan pendidikannya ini ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah.[21]
Setelah memperoleh ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Ditempat ini ia mempunyai peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apa lagi ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal dunia, khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kotaRiqqah, Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian mengundurkan diri untuk lebih berkosentrasi pada pengajaran dan penulisan fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray dekat Teheran dalam usia 58 tahun.[22]

 Karya-Karya Al-Syaibani
Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran fiqihnya, Al-Syaibani menggunakan istishan sebagai metodeijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan, yaitu:
  1. Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-siyar Shaghir, dan al-Ziyadat. Kesemuanya ini dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Maruzi (w. 334 H/ 945 M) dalam satu kitab yang berjudul al-Kafi.
  2. Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri seperti Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyalm al-Radd ‘ala Ahl Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar,dan al-Kasb. [23]
Pemikiran Ekonomi Al-Syaibani
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi Syaibani, para ekonom Muslim banyak merujuk pada kitabal-Kasb sebuah kitab yang lahir sebagai respon penulis terhadap sikap zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian ,mikroekonomi yang berkisar pada teori kasb (pendapatan) dan sumber-sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi. Kitab tersebut termasuk kitab pertama di dunia Islam yang membahas permasalahan ini.oleh karena itu tidak berlebihan bila Dr. Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai salah seorang perintis ilmu ekonomi Islam.[24]
1.      Al-Kasb (kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-Kasb sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi.Dalam ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal haramnya suatu barang atau jasa dan caramemperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat diebut sebagai aktivias produksi. Produksi dilakukan karena barang atau jasa itu memepunayi utilitas (nila-guna).Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Syaibani kemslahatan hanya dapat dicapai dengan memlihara limaunsur pokok kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[25] Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunayi nilai-guna selama masih ada orang yang menginginkannya.
Dalam pandangan Islam aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.Berkenaan dengan hal tersebut Syaibani mengaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah swt. Disamping itu Syaibani juga mneyatakan bahwa bekrja merupakan ajaran para Rasul terdahulu dan kaum Muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.[26]
2.      Kekayaan dan Kefakiran
Setelah membahas kasbfokus perhatian Syaibani tertuju pada permasalahan kaya dan fakir.Menurutnya sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.Ia menayatakan bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebijakan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi papah dan meminta-minta (kafafah).Dengan demikian, pada dasarnya Al-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun keluarganya. Disisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menetang gaya hidup yang lebih cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk kebaikan.[27]
3.      Klasifikasi Usaha-Usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian, dan perindustrian.Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangant menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.Dari segi hukum, Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus berjalan, dan jika tidak seorangpun menjalankannya maka tanah roda perekonomian akan hancur beranktakan yang berdampak pada semakin banyknya orang yang hidup dalam kesengsaraan.[28]
Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Bila tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidakakan terpenuhi begitupun dengan orang yang ditanggungnya sehimgga akan menimbulkan kebinasaan bagi dirinya dan orang yang ditanggungnya.[29]
4.      Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi
 Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu, makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom yang lain mengatakan bahwa keempat hal itu adalah tema ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal tersebut.[30]
5.      Spesialisasi dan Distiribusi Pekerjaan
Al-Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha keras usia akan membatasi dirinya. Dalam hal ini kemaslahatan hidup manusia sangat tergantung padanya. Oleh karena itu Allah SWT memberikan kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan seorang yang kaya, sedang yang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada Allah SWT. Lebih lanjut Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai denganniatnya.[31]


 Abu Ubaid (150-224H)
 Biografi Singkat Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.
Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.[32]
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalahKitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[33] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

 Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M).[34]Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H), Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance. Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).[35]pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama, Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsirbi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.[36]
Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal (780-855 M).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abû ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitâb al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka. Tetapi dalam kitâb al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah, Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi, bahwa Abû ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i tanpa menyebut nama.
Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid
1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi buku Abû ‘Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah danpoll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushuratau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar). Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.
Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa) ke Urban(masyarakat kota)
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
 Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

4. Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam.

5. Fungsi Uang
Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abû ‘Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.


KESIMPULAN
1.      Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M. Demikianlah menurut riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya mulai dari kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persia (Kabul, Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan beliau dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia. Beliau meninggal di Baghdad, tahun 150 H, dalam usia 70 tahun.
Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi.

2.      Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunaisbin Sa’ad Al Anshari Al Jalbi Al Kufi Al Baghdadi atau yang di kenal dengan nama Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ) dilahirkan di Kufa pada tahun 113 H (731M) dan wafat di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern. Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam menjelaskan prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya yaitu produsen dan konsumen. Jika karena suatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang itdak wajar dari produsen terjadi karena kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penetuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Selain Al-Kharaj, beliau menulis Al-Jawami, buku yang sngaja ditulis untuk Yahya bin Khalid, selain itu juga menyusun Usul Fiqh Hanafiah ( data-data fatwa hukum yang disepakati Imam Hanafiah bersama murid-muridnya.
Kekuatan  utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan pablik, serta banyak membahas masalah hubungan Negara dan aktivitas ekonomi,  ia juga banyak membahas persoalan mengenai pajak yang dikenal oleh parah ahli sebagai canonso of taxation , dan mengenai mekanisme harga.

3.    Nama lengkap Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani. Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. Ia meninggal dunia pada tahun189 H (804 M) di kota al Ray, dekat Teheran Iran,dalam usia 58 Tahun.
Konsep pemikiran Al Syabani diantranya adalah mengenai konsep Al Kabs (Kerja), Kekayaan dan kefakiran, kelasifikasi usaha-usaha perekonomian, kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan spesailisasi dan distribusi pekerjaan.

4.      Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadis, dan fiqih. Ia meninggal dunia pada tahun 224 H di Mekkah.
Pemikiran ekonomi Abu Ubaid banyak tercantum dalam karya kitabnya yang berjudul al Amwal yang memuat berapa prinsip ekonomi dan pemerintahan, di antaranya: mengenai hak dan kewajiban pemerintah dan rakyatnya, mengenai doktrin badui – Urban, kepemilikan dalam konteks kebijakan perbaikan pertanian, pertimbangan kebutuhan, dan fungsi uang. Inti dari doktrinya adalah pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
CE. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993. Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2007.
Hery, Sucipto. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr dan Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2003.
Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, Jakarta: PT Raja
Grafindo, Persada, 1996.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Madzhab. Terjemahan oleh, Masykur A.B. dkk. Jakarta: Penerbit Lentera, 2006.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: UI Press, 1985.

Perwataatmadja, Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001.

Siddiqi, M. Nejatullah, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992.
Suwaidan , Dr Tariq. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta: Zaman, 2003.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994. Zallum, Abdul Qadim, System Keuangan di Negara Khilafah, terj oleh Ahmad. S, dkk, Bogor:pustaka thariqul izzah, 2002.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.