Sejarah dan pemikiran Ekonomi Abu Hanifa, Abu Yusuf, Abu Muhammad bin Al Hasan (Al Syaibani) dan Abu Ubaid
Kehadiran
ekonomi Islam di era kekinian, telah membuahkan hasil denganbanyak diwacanakan
kembali ekonomi Islam dalam teori-teori, dan dipraktikkannyaekonomi Islam di
ranah bisnis modern seperti halnya lembaga keuangan syariah bank dan non bank.
Ekonomi Islam yang telah hadir kembali saat ini, bukanlah suatu hal yang
tiba-tiba datang begitu saja.
Ekonomi
Islam sebagai sebuah cetusan konsep pemikiran dan praktik telah hadir secara
bertahap dalam periode dan fase tertentu. Memang ekonomi sebagai sebuah ilmu
maupun aktivitas dari manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sesuatu
hal yang sebenarnya memang ada begitu saja. Karena upaya memenuhi kebutuhan
hidup bagi seorang manusia adalah suatu fitrah.
Pemikiran
ekonomi Islam sebenarnya sudah diawali sejak Muhammad SAW dipilih menjadi
seorang Rasul. Rasulullah SAW mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyangkut
berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan hidup bermasyarakat, yang
kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, Khulafaur Rasyidin serta khalifah
selanjutnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam telah terbentuk
secara berkala sebagai sebuah subyek interdisipliner sesuai dengan paradigma
Islam. Di dalam tulisan-tulisan para pengamat, Al-Qur’an, ahli hukum/syariah,
sejarawan, serta filosof, sosial, politik, serta moral. Sejumlah cendekiawan
Islam telah memberikan kontribusi yang sangat berharga sejak berabadabad yang
lampau.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Pada kesempatan ini kita akan
menbahas para pemikir isalam pada masa klasik yakni Abu Hanifah, Abu Yusuf, Abu
Abdillah Muhammad bin Al Hasan, dan Abu Ubaid. Para tokoh ini merupakan para
pemikir islam dibidang ekonomi yang sangat handal.
Abu Hanifah(80-150 H /699 –767 M)
Biografi Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah
dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M. Demikianlah menurut riwayat
yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya mulai dari kecil ialah Nu‟man bin
Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persia (Kabul,
Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah.
Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan
beliau dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia.
Ia lebih populer
dipanggil Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang dinamakan Hanifah, ini
menurut satu riwayat. Dan menurut riwayat yang lain, sebab ia mendapat gelar
Abu Hanifah, karena ia adalah orang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah
dan sungguh-sungguh melakukan kewajibannya dalam beragama. Karena perkataan “Hanif”
dalam bahasa Arab itu artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang
benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa sebab ia mendapat gelar dengan
“Abu Hanifah” itu lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”. Karena
perkataan “Hanifah” menurut lughat Irak artinya “dawat”
atau “tinta”. Yakni ia di mana-mana senantiasa membawa dawat guna
menulis atau mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari para gurunya atau
lainnya. Dengan demikian lalu ia mendapat gelar Abu Hanifah.[1]
Pertumbuhan dan kehidupannya
Sebagian besar
hidup Abu Hanifah semasa dengan kekuasaan Bani Umayyah, sisanya dalam masa Bani
Abbasiyah. Ia lahir pada masa kekuasaan Bani Umayyah di era pemerintahan Abdul
Malik bin Marwan dan meninggal dunia pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah dibawah
pemerintahan Abu Ja‟far al-Mansur.
Kehidupan Abu
Hanifah tak lepas dari masyarakatnya atau di salah satu sudutnya. Ia hidup
bahkan di jantung dan pusat kota. Ia hidup di ibu kota Baghdad tempat
berkumpulnya ilmu dan para ulama, tempat bersemainya kajian dan para pengkaji,
diskusi dan ahli diskusi, tren-tren budaya yang beragam di suatu saat dan yang
bertentangan di saat yang lain.
Wilayah ini
memiliki warisan bersejarah. Dari segi ilmiah, penduduknya memiliki kesiapan
tinggi dalam mengkaji dan menalar, ditambah lagi hijrahnya para ulama ke
wilayah ini, khususnya ke Baghdad, sesudah dijadikan oleh khilafah Abbasiyah
sebagai basis pemerintahan, tak pelak Irak bertambah kuat dan strategis.
Ketika itu, di
Irak terdapat banyak perbudakan. Tren nyanyian berkembang dan sebagian orang
menjadikannya sebagai sarana untuk minum-minuman keras. Masyarakat muslim masa
itu telah dihadapkan pada berbagai permasalahan yang amat kompleks yang
membutuhkan lembaga-lembaga yang menangani bidang masing-masing. Butuh adanya
penanganan secara islami dan pedoman tehadap batasan hak dan kewajiban antara
pemimpin dan rakyat. Tak mengherankan jika Irak didominasi oleh mazhab ahli
ra‟yi, tak mengherankan pula jika kita jumpai bahwa pemikiran Abu Hanifah
terpengaruh oleh berbagai kondisi masyarakat ini, yakni pemikiran yang
cenderung rasionalis. [2]
Disamping
menganut aliran rasional, Abu Hanifah dikenal sangat wara‟ dan
takwa. Ia sering melakukan pengembaraan untuk memperoleh hadits. Ketika ia
berumur 16 tahun, yaitu pada tahun 96 H, Abu Hanifah pergi haji bersama ayahnya
dan bertemu dengan Abdullah bin Harits az-Zubaidi. Dari ulama ahli hadits ini
ia meriwayatkan sabda nabi SAW: “Barang siapa mendalami agama (tafaqqahu),
maka Allah akan mencukupkan segala kebutuhannya dan memberinya rizki secara
yang tidak disangka.” Karenanya, tidak benar dakwaan sementara orang yang
menuduh Abu Hanifah tidak meriwayatkan hadits, kecuali tujuh belas hadits saja.
Dalam riwayat yang mu‟tabar disebutkan bahwa Abu Hanifah meriwayatkan
sendiri sebanyak 215
Hadits selain
hadits-hadits yang juga diriwayatkan oleh para imam yang lain. Abu Muayyid
Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (wafat tahun 226 H), mengumpulkan musnad Abu
Hanifah setebal 800 halaman yang diterbitkan di Mesir 1326 H.31.
Kepribadian dan sifat-sifatnya
Abu Hanifah
dikenal jujur dan tidak suka banyak omong, akrab dengan sahabat-sahabatnya dan
tidak suka membicarakan keburukan orang lain. Ia bekerja sebagai penjual kain
dan hidup dari hasil kerjanya sendiri. Ia juga tidak menyukai pembicaran
duniawi. Jika ditanya soal-soal agama, dengan suka-cita ia menguraikannya
secara panjang lebar dan bersemangat. Ketika Sufyan ats-Tsauri ditanya tentang
ketidaksukaan Abu Hanifah menggunjing orang, ia mengatakan: “Akalnya lebih
cerdik untuk dapat dipengaruhi hal-hal yang menghapuskan kebaikan-kebaikannya”.
Tentang ke-wara-an Abu
Hanifah, ia menolak jabatan hakim (qadhi) pada masa pemerintahan bani
Umayyah dan Abbasiyah. Yazid bin Hubairah, gubernur Irak pada pemerintahan bani
Umayyah, menyiksanya karena tetap menolak menjadi hakim. Pada pemerintahan Abu
Ja‟far al-Mansur, khalifah kedua dari Bani Abbas, ia dipanggil untuk pindah ke
Baghdad. Saat itu al-Mansur memaksa dan bahkan bersumpah agar Abu Hanifah
menerima untuk diangkat sebagai hakim, tetapi ia juga bersumpah untuk tidak
menerima jabatan selamanya.
Abu Hanifah
begitu sadar bahwa masa depan fiqh harus bebas dari kekangan penguasa. Sebab
hanya dengan menghindari ikatan-ikatan kedudukan ia dapat leluasa mengembangkan
kajian-kajian fiqhiyah. Itulah sebabnya Abu Hanifah memperjuangkan kebebasan
berpendapat dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Demikianlah dalam diri Abu
Hanifah berkumpul ilmu orang rasionalis yang paling masyhur dan ilmu
seorang wara‟ yang paling wara‟.[3]
Pengembaraan Menuntut Ilmu
Abu Hanifah
belajar fiqh dan Hadits dari Hammad selain dari Ibrahim an-Nakha‟i dan
asy-Sya‟bi. Tapi masa belajarnya dengan an-Nakha‟i dan asy-Sya‟bi tidak selama
dari Hammad. Abu Hanifah belajar dari Hammad selama 22 tahun. Setelah berumur
40 tahun, beliau pisah untuk mengakar sendiri di Masjid Kufah.
Dalam sebuah
riwayat disebutkan, Abu Hanifah berkata kepada Abu Mansur tentang bagaimana ia
mempelajari fiqh. “Ibrahim meriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas‟ud dan Abdullah bin Abbas, Mansur berkata, “Wah, kamu
telah membekali dirimu wahai Abu Hanifah, sesuai dengan keinginanmu, dari
orang-orang yang suci, bersih dan diberkahi
Abu Hanifah
dikenal memiliki banyak ilmu syariah dan bahasa Arab. Dari dia sendiri
diriwayatkan beberapa wajah bacaan al-Qur‟an. Keahliannya dalam fiqh
mendapatkan kesaksian dan pujian-pujian dari ulama salaf terhadap Abu
Hanifah, diantaranya; Imam Syafi‟i berkata, “Semua orang dalam ilmu fiqh
menginduk kepada Abu Hanifah.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang ingin
mengerti tentang fiqh maka hendaklah belajar kepada Abu Hanifah dan
sahabat-sahabatnya, sebab semua orang dalam masalah fiqh menginduk kepadanya.”
Termasuk
contoh-contoh yang menunjukkan penghormatan ulama salaf kepada Abu
Hanifah adalah bahwa ketika saudara Sufyan ats-Tsauri meninggal dunia,
orang-orang datang berziarah. Abu Hanifah pun datang ber-ta‟ziyah.
Sufyan berdiri menghormati beliau, lalu mempersilakan duduk di tempatnya dan
dia duduk di belakang Abu Hanifah.
Abu Yusuf, salah
satu sahabat utama Abu Hanifah, mengatakan: “Saya tidak pernah melihat orang
yang lebih ahli dalam menafsirkan hadits selain Abu Hanifah. Ia sangat cermat
dan kritis dalam menilai kesahihan suatu hadits.”[4]
Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal yang
kemudian menjadi ulama besar yaitu;
Pertama, Abu
Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Anshari al-Kufi yang lahir pada tahun 113
H dan meninggal pada tahun 182 H. Untuk pertama kali, Abu Yusuf belajar kepada
ibn Abi Laila selama 9 tahun. Selanjutnya ia berguru kepada Abu Hanifah
sehingga jadilah Abu Yusuf seorang faqih, ulama dan hafiz (ahli hadits).
Ia sempat menjabat qadhi atau hakim dalam beberapa masa kekhalifahan
Abbasiyah. Ia menulis banyak kitab tentang masalah-masalah ibadah, jual beli, hudud
(hukum pidana) dan lainnya. Kitabnya yang paling terkenal adalah “al-Kharaj”
yang ditulis atas permintaan khalifah ar-Rasyid. Kitab ini dianggap sebagai
referensi utama Ekonomi Islam. Kitabnya yang lain adalah “al-Atsar” dan “al-Raad
ala Sairi al-Auza‟i fi ma Mahala fihi Abu Hanifah” dan lainnya
Kedua, Abu
Abdillah Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang lahir pada tahun 132 H dan
meninggal pada tahun 189 H. Ia cukup lama belajar dengan Abu Hanifah. Ketika
Abu Hanifah meninggal dunia, asy-Syaibani baru berumur 20 tahun. Ini
menunjukkan bahwa beliau menuntut ilmu dan faqih sejak usia belia.
Asy-Syaibani ahli dalam pemecahan istilah dan ilmu berhitung. Ia konsisten
dengan pekerjaan menulis dan menghasilkan banyak kitab, diantaranya, al-Mabsuth,
az-Ziyadat, al-Jami‟ al-Kabir, al-Jami‟ as-Shagir, as-Sair al-Kabir, as-Sair
as-Shagir, ar-Rad ala ahli al-Madinah dan lainnya.
Ketiga, Zufar
bin Huzail yang lahir pada tahun 10 H dan meninggal pada tahun 158 H. Zufar
lebih dulu belajar kepada Abu Hanifah baru kemudian kepada Abu Yusuf dan
asy-Syaibani. Ia tergolong seorang murid yang terkenal ahli qiyas. Ia
seorang yang baik pendapat-pendapatnya dan pandai mengupas tentang soal-soal
keagamaan serta ahli ibadah. Zufar pernah menjabat hakim di Bashrah. Pada
mulanya, banyak ulama yang benci dan berburuk sangka kepada Abu Hanifah. Zufar
lalu menerangkan dan menjelaskan kepada mereka secara menakjubkan sehingga mereka
simpati kepadanya. Ia melakukan hal ini secara kontinyu. Akhirnya banyak
orang-orang yang dulu benci menjadi suka kepada Abu Hanifah.
Keempat,
Hasan bin Ziyad al-Lu‟luiy al-Kuti yang meninggal dunia pada tahun 204 H. Ia
sangat terkenal dalam meriwayatkan hadits. Ia adalah murid sekaligus sahabat
Abu Hanifah. Ia menjabat qadhi di Kufah pada tahun 194 H dan menulis
beberapa kitab antara lain, Aadab al-Qadhi, al-Khishal, Ma‟ani al-Iman,
an-Nafaqat, al-Kharraj, al-Faraidh, al-Washaya, al-Mujarraddan al-Amali.[5]
Pemikiran Abu Hanifah
Abu Hanifa menyumbangkan
beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu
bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang
dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu
Hanifa mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderug mengarah pada
perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dahulu,
dengan orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan
ini dengan merinci kontrak, seperti jenis komoditi, kualitas, kuantitas, waktu,
dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi harus
tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman.[6]
Salah satu kebijakan Abu
Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah
transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan
jual beli. Abu Hanifah sangat memperhatikan pada orang-orang lemah. Beliau
tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada
pemilik tanah dalam kasus tanah tidak menghasilkan apapun. Hal ini untuk
melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.Beberapa karya yang
dihasilkan antara lain : Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, sebuah kitab hadist
yang dikumpulkan oleh para muridnya dan Al-Fiqh Al-Akbar.[7]
Aba Hanifah juga berpendapat agar mempermudah dalam hal urusan ibadah dan
muamalah. Misalnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika badan atau pakaian
terkena najis, maka boleh dibasuh dengan barang cair yang suci, seperti air
bunga mawar, cuka, dan tidak terbatas pada air saja. Dalam hal zakat, Abu
Hanifah membolehkan zakat dengan nilai (uang) sesuai dengan banyaknya kadar
zakat.
Berpihak
pada yang fakir dan lemah. Contohnya, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada
perhiasan emas dan perak, sehingga zakat itu dikumpulkan untuk kemaslahatan
orang-orang fakir. Abu Hanifah berpendapat, orang yang punya utang tidak wajib
membayar zakat jika utangnya itu lebih banyak dari uangnya. Ini menunjukkan belas
kasihnya kepada orang yang punya utang.
Pembenaran atas
tindakan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya. Abu Hanifah berusaha
menjadikan amal manusia itu benar dan diterima selagi memenuhi
syarat-syaratnya. Contohnya ia berpendapat bahwa Islamnya anak kecil yang
berakal tapi belum baligh dianggap sebagai Islam yang benar seperti
halnya orang dewasa.
Menjaga
kehormatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Karena itu Abu Hanifah tidak
mensyaratkan wali nikah bagi perempuan yang baligh dan dewasa atas orang
yang dicintai, baginya hak untuk menikahkan diri sendiri dan nikahnya sah.
Kendali
pemerintah di tangan seorang imam (penguasa). Karena itu, kewajiban seorang
imam (pemimpin secara syariat) untuk mengatur kekayaan umat Islam yang
membentang luas di atas bumi untuk kemaslahatan umat. Kewajiban lainnya adalah
pengaturan kepemilikan tanah mati (bebas) bagi yang mengolahnya yaitu
menjadikannya lahan siap pakai.
Kaidah-kaidah
brilian dan selaras inilah yang membuat Abu Hanifah layak mendapatkan gelar “Imam
Ahlu ar-Ra‟yi”. Ini tidak berlebihan, karena beliau telah berjuang dan
berusaha keras menggunakan qiyas pada hukum-hukum yang tidak ada
dasarnya dalam nash. Selain itu, Abu Hanifah juga menguasai ilmu ber-istimbath
(menggali hukum) dari hadits, sehingga dapat mengambil intisari yang
bermanfaat bagi umat, dan tidak bertentangan dengan nashnya.
Pendapat
Imam Abu Hanifah yang berkaitan dengan lainnya yaitu, bahwa benda wakaf masih
tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan kedudukan „ariyah (pinjam-meminjam).
Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan,
dan di-hibah-kan wakif kepadayang lain, kecuali wakaf untuk
masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan
wakaf yang diikrarkan. Secara tegas wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif
telah meninggal dunia.
Bahwa perempuan
boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara
perdata, bukan perkara pidana. Alasannya, karena perempuan tidak boleh menjadi
saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu
menurutnya, perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan
menjadikan kesaksian sebagai al-ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai
al-Far‟i.[8]
2.1.7
Karya-Karya Abu Hanifah
Perlu
diketahui bahwa Abu Hanifah tidak pernah menulis kitab tentang mazhabnya.
Muhammad Abu Zahrah menjelaskan bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab secara
langsung kecuali beberapa “risalah” kecil yang dinisbahkan kepadanya,
seperti risalah yang dinamakan al-Fiqh al-Akbar dan al-Alim wa
al-Muta‟alim. Walau demikian
mazhabnya sangat populer dan tersebar luas. Ini karena hasil perjuangan
murid-murid Abu Hanifah dalam mengembangkan dan menyebarluaskan pemikirannya
terutama pada istimbath yang ia rumuskan.
Diceritakan
bahwa Imam Abu Yusuf merupakan orang yang pertama menulis beberapa buku
berdasarkan mazhab Hanafi dan menyebarkannya ke berbagai daerah untuk
dipelajari. Demikian pula halnya dengan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani
banyak menimba ilmu dari Abu Hanifah dan menyebarkan pemikiran-pemikiran beliau
melalui karya-karyanya. Dari sejumlah sumber, menyebutkan bahwa Abu Hanifah
sendiri tidak meninggalkan karya atau buku yang ditulisnya langsung, kecuali
apa yang dinukil oleh para murid beliau.
Abu Zahrah,
menceritakan bahwa penulisan di bidang ushul fiqh untuk pertama kali
disusun oleh murid Imam Abu Hanifah. Hal senada juga disebutkan oleh pengikut
dan para muridnya. Diantara murid Abu Hanifah yang paling terkenal dan
merupakan orang yang pertama menulis buku ushul fiqh berdasarkan
pandangan Abu Hanifah adalah Imam Abu Yusuf (w. 182 H). Dan karya Abu Yusuf ini
pada akhirnya menjadi pegangan mazhab Hanafi, dalam ushul fiqh.
Menurut
penuturan Imam Nadim sebagaimana dikutip oleh Tengku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, bahwa Abu Yusuf dan Zufar adalah dua orang murid yang sangat
berjasa dalam merumuskan dan mengembangkan pemikiran Abu Hanifah dan mazhab ushul
Hanafi. Abu Yusuf sendiri banyak menghasilkan karya-karya yang didasarkan
kepada mazhab Hanafi, seperti kitab az-Zakah, as-Shiyam, al-Faraidh,
al-Hudud, al-Kharaj dan al-Jami‟. Dan diantara karya Abu Yusuf yang
terkenal adalah kitab al-Kharaj.
Selain Abu Yusuf
dan Zufar, Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani juga salah seorang murid Abu Hanifah
yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan mazhab Hanafi. Ibn Hasan
mengikuti cara-cara istimbath yang telah dirintis oleh Abu Yusuf
berdasarkan pemikiran Abu Hanifah.
Menurut riwayat,
bahwa para ulama Hanafiyah (yang bermazhab Hanafi) telah membagi-bagi masalah
fiqh Hanafiyah menjadi tiga tingkatan, yakni; pertama, masail al-Ushul,
kedua, masail an-Nawadhir dan ketiga, al-Fatawa wa al- waqi‟at.
Pertama, masail al-Ushul yaitu
masalah-masalah yang termasuk zhahir ar-Riwayah, yaitu pendapat yang
diriwayatkan oleh Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad dan
Zufar. Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-pendapat
tersebut yang kemudian disusun dalam kitab yang bernilai tinggi, Zahir
ar-Riwayah.
Kitab-kitab
yang termasuk Zahir ar-Riwayah ada enam buah, yaitu (1) al-Mabsuth
atau al-Ashl, (2) al-Jami‟ al-Kabir, (3) al-Jami‟ ash-Shagir,
(4) as-Siyar al-Kabir, (5) as-Siyar ash-Shagir, dan (6) az-Ziyadat.
Keenam kitab tersebut kemudian disusun oleh Hakim asy-Syahid menjadi satu kitab
yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau diberi syarah oleh
Syamsu ad-dhin asy-Syarkhasyi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth.
Kedua,
masail An-Nawadir yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan Abu Hanifah
dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam kitab yang termasuk Zahir
ar-Riwayah. Adapun kitab-kitab terkenal yang termasuk an-Nawadir adalah
al-Kaisaniyyat, ar-Ruqayyat, al-Haruniyyat, al-Jurjaniyyat dan Badai‟
ash-Shanai‟ fi Tartib asy-Syarai‟.
Ketiga,
al-Fatawa wa al-Waqi‟at yaitu yang berisi masalah-masalah keagamaan yang
dari istimbath-nya para mujtahid yang bermazhab Imam Hanafi yang datang
kemudian, pada waktu mereka ditanyai tentang masalah hukum-hukum keagamaan,
padahal mereka tidak dapat menjawabnya, lantaran dalam kitab-kitab mazhabnya
terdahulu tidak didapati keterangannya, kemudian mereka berijtihad guna
menjawabnya. Adapun tentang kitab al-Fatawa wa al-Waqi‟at yang pertama
kali ialah kitab an-Nawazil karya Abi al-Laits as-Samarqandi.
Kitab-kitab
yang terkenal susunan ulama Hanafiah mutaakkhirin diantaranya adalah; jami‟
al-Fushulain, Dharar al-Hukkam, Multaqa al-Akhbar, Majmu‟ al-Anshar dan Radd
al-Mukhtar „ala Dhar al-Mukhtar yang tekenal dengan hasSelain
kitab-kitab fiqh, dalam aliran Hanafi terdapat kitab ushul al-Fiqh dan Qawaid
al-Fiqhiyah. Kitab-kitab ushul al-fiqh dalam aliran Hanafi adalah
(1) ushul al-Fiqh karya Abu Zaid ad-Duyusi (w.430 H); (2) ushul
al-Fiqh karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 430 H); dan (3) ushul
al-Fiqh karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarah-nya Misykat al-Anwar.
Selain
kitab fiqh dan ushul al-Fiqh, ulama Hanafiah juga membangun
kaidah-kaidah fiqh yang kemudian disusun dalam kitab tersendiri. Diantara kitab
qawaid al-Fiqhiyyah aliran Hanafi yaitu, Ushul al-Karkhi karya
al-Karkhi (260-340 H), Ta‟ziz an-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w. 430
H), Al-Asybah wa an-Nazha‟ir karya ibn Nujaim (w. 970 H), Majami‟
al-Haqaiq karya Abu Said al-Khadimi (w. 1176 H), Majallah al-Ahkam
al-Adhiyyah (Turki Usmani, w. 1292 H), Al-Fawaid al-Bahiyyah fi Qawaid
wa al-Fawaid karya ibn Hamzah (w. 1305 H) dan Qawaid al-Fiqh karya
Mujaddidi.[9]
2.2. Abu Yusuf (113-182H)
2.2.1 Biografi Abu Yusuf
Nama
lengkapnya Ya’qub ibn Ibrahim ibn Sa’ad ibn Husein al-Anshori.Beliau lahir di
kuffah pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182H. Abu Yusuf berasal dari suku
Bujailah, salah satu suku bangsa arab. Keluarganya disebut anshori karena daripihak
ibu masih memiliki hubungan dengan kaum anshar. Dibesarkan di kota kufah dan
Baghdad yang pada masa itu merupakan pusat kegiatan pemikiran dan intelektual
islam paling dinamis. Beliau berguru pada salah seorang ulama besar kenamaan
yaitu nu’man bin tsabit yang dikenal dengan nama abu hanifah, pendiri madzhab
hanafi. Beliau belajar pada imam abu hanifah selama 17 tahun. Begitu intensnya
hubungan pribadi dan intelektual ini membuat imam abu yusuf (w. 182/798)
mengambil metode dan cara berfikir gurunya itu dan turut menyebarkan paham
fikihnya selama hidup. Beliau dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman
pikiran, cepat mengerti, dan sangat cepat menghafal hadits. Murid-muridnya yang
sangat terkenal adalah imam ahmad bin hanbal(pendiri madzhab hanbali), imam
yahya bin ma’in (seorang ulama hadits yang sangat tersohor), dan yahya bin adam
(seorang ulama yang menulis karya ilmiah kitab al-kharraj juga.[10]
Abu
yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad
Atho bin as-Saib Al-Kufi,Sulaiman bin Mahran AlA’masy, Hisyam bin Urwah,
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar,
dan Al-Hajjaj bin Arthah. Beliau
termasuk ulama yang banyak menggunakan ra’yu (pendapat) seperti yang menjadi
ciri khas dari Fiqih Hanafiyah. Beliau dapat menempatkan kekuatan ra’yu itu
dalam perspektif hadits. Keunikan beliau yang mampu memadukan dua aliran ini membuatnya
terkenal sebagai seorang ulama ahli ra’yu dan hadits. Kedudukan yang unik ini
sebenarnya sulit dicapai tanpa kepenguasaan ilmu yang memadai baik dari hadits
maupun ra’yu.[11]
Beliau
seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa
maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam
kehidupan bermasyarakat. Sebagai salah satu bentuk penghormatan dan pengakuan
pemerintah atas keluasan dan kedalaman ilmunya, khalifah dinasti Abbasiyah,
Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Yusuf sebagai ketua Mahkamah Agung (qadhi
al-qudhah). Ketika Abu Yusuf memangku jabatan sebagai Qadhi al Quddah, beliau
diminta oleh arRasyid untuk menulis buku umum yang akan dijadikan sebagai
pedoman dalam administrasi keuangan. Buku tersebut kemudian dikenal dengan nama
kitab al-kharraj. Beliau telah menetapkan teori ekonomi yang sesuai dengan
syariat islam.
Karya Abu Yusuf
Salah
satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental adalah KIitab al-Kharraj (buku
tentang perpajakan). Kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf ini bukanlah kitab pertama
yang membahas masalah al-Kharaj atau perpajakan. Para sejarahwan muslim sepakat
bahwa orang pertama yang menulis kitab dengan mengangkat tema al-Kharraj adalah
Mu’awiyah bin Ubaidillah bin Yasar (W. 170 H), seorang Yahudi yang memeluk agama
Islam dan menjadi sekertaris khalifah Abu Abdillah Muhammad al-Mahdi (158-169
H/ 755-785 M). namun sayangnya, karya pertama di bidang perpajakan dalm islam tersebut
hilang ditelan zaman.
Penulisan
kitab al-Kharraj karya Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan
khalifah Harun ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan
demikian, kitab al Kharraj ini mempunyai orientasi birokratik karena ditulis
untuk merespon permintaan khalifah Harun ar-Rasyid yang ingin menjadikannya
sebagai buku petunjuk administrasi dalam rangka mengelola lembaga baitul mal
dengan baik dan benar, sehingga Negara dapat hidup makmur dan rakyat tidak
terdzalimi. Sekalipun berjudul al-Kharaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung
pembahasan tentang al-Kharaj saja, melainkan juga meliputi berbagai sumber pendapatan
Negara lainnya, seperti Ghanimah, Fai, Kharraj, ushr, jizyah, dan shadaqah, yang
dilengkapi dengan cara-cara bagaimana mengumpulkan serta mendistribusikan setiap
jenis harta tersebut sesuai dengan syari’ah Islam berdasarkan dalil-dalil naqliyah
al-Qur’an dan Hadist).[12]
Kharaj
adalah pajak atas tanah atau bumi yang pada awalnya dikenakan terhadap wilayah
yang ditaklukkan melalui perang ataupun karena pemilikan mengadakan perjanjian
damai dengan pasukan muslim. Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh
kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan. Harta tersebut biasanya
berupa uang, senjata, barangbarang dagangan, bahan pangan, dan lainnya. Pemasukan
dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian penting dalam keuangan publik. Akan
tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan
sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara. Abu Yusuf mengatakan jika
ghanimah didapat sebagai hasil pertempuran dengan pihak musuh , maka harus
dibagikan sesuai dengan paduan dalam al-qur’an, surat al-anfal ayat 41. Pembagian
khumus ini memberikan 1/5 atau 20% dari total rampasan untuk Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah saham
bagi mereka yang ikut peperangan.
Fay
adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir tanpa peperangan,
termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharraj tanah tersebut, jizyahperorangan
dan usyr dari perdagangan.[13]
Usyr
adalah zakat atas hasil pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada pedagang muslim
maupun non muslim yang melintasi wilayah Daulah Islamiyah, yang dibayar hanya
sekali dalam setahun. Untuk pengelolaan zakat pertanian ditentukan sebagai berikut,
jika pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi ditentukan 5 persen dan jika
pengelolaan tanah menggunakan teknik irigasi tadah hujan ditentukan 10 persen. Bea
cukai untuk pedagang muslim dikenakan 2,5 persen sedangkan untuk orang-orang yang
dilindungi dikenakan 5 persen.
Jizyah
adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim yang hidup di negara dan pemerintahan
Islam sebagai imbalan atas perlindungan hukum, kemerdekaan, keselamatan jiwa
dan harta mereka. Beberapa karya tulisan beliau yang berpengaruh besar dalam
memperbaiki sistem pemerintahan dan peradilan serta penyebaran madzhab hanafi.
Beberapa diantara karyanya adalah sebagai berikut:13kitab al-atsar, kitab ikhtilaf
abi hanifah wa ibn abi laila, kitab ar-radd ‘ala siyar al-Auza’I, dan kitab
al-kharraj.
Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Dengan
latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf
Cenderung memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat
analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap
al-Qur’an, hadist Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih.
Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan
umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.
Kekuatan
utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keungan publik. Dengan daya
observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan
dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan
pertanggungjawaban Negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan
beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk
pembangunan jangka panjang seperti membangun jembatan dan bendungan serta
menggali saluran-saluran besar dan kecil.
1.Negara
dan Aktivitas Ekonomi
Dalam
pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin
kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan
rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan
umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa
sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya
dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah
menemui kesulitan.
Abu
Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan
fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran
rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang
dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan,
harus ditanggung oleh Negara. Namun demikian, Abu Yusuf menegaskan bahwa jika
proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan
dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia
mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Persepsi
Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang publik muncul dalam teori
konvensional tentang keuangan publik. Teori konvensional mengilustrasikan bahwa
barang-barang sosial yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara
dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang publik
tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi
pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan
secara langsung.[14]
Dalam
hal pertanian, lebih jauh Abu Yusuf cenderung menyetujui bila Negara mengambil
bagian dari hasil yang dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari
lahan pertanian yang digarap. Menurutnya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan
memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam
memperluas tanah garapan. Dengan kata lain beliau lebih merekomendasikan penggunaan
sistem muqasamah (proposional tax) atau pajak proporsional pada hasil pertanian
dari pada sistem misahah (fixed tax)adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak
dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Abu Yusuf merekomendasikan
tarif yang berbeda dengan mempertimbangkan system irigasi yang digunakan. Tarif
yang ditetapkan olehnya adalah Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang
berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai ‘canons of
taxation’. Banyak sudut dalam perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan
sebagai prinsip yang harus dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak
pertanian. Ia menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka
harus selalu diawasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan
seperti korupsi dan praktek penindasan.
Abu
Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan
terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba
sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah
beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya
yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat
keislaman ini memiliki kontribusi besar dalam menetukan kewajibankewajiban penguasa,
status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif
untuk kemajuan sosial.[15]
2.
Teori Pajak
Dalam
hal perpajakan Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang
berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation.
Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan
sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa
prinsip yang ditekankannya. Subjek utama Abu Yusuf adalah perpajakan dan
tanggung jawab ekonomi dari Negara. Sumbanganya terletak pada pembuktian
keunggulan pajak berimbang terhadap sistem pungutan tetap atas tanah, keduanya
ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Dalam pembahasannya ia juga menunjuk
pada lain-lain peraturan perpajakan, kemampuan untuk membayar, suatu
pertimbangan untuk memudahkan para wajib pajak dalam menentukan waktu pungutan
dan caranya serta pemusatan pengambilan keputusan dari administrasi pajak.[16]
3.Mekanisme
Harga
Berbeda
dengan pemahaman saat itu yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka
harga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan
tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang
mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan,
demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal
merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal
dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.
Dari
pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampaknya menyangkal pendapat umum mengenai
hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak
bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan.
Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan
penurunan atau peningkatan produksi.[17] Abu
Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi,
tetapi dia tidak menjelaskan secara rinci. Bisa jadi, variabel itu adalah
pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara,
atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut.[18]
Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis
The Wealth Of Nation.
Abu
Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia
misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya
dengan perubahan harga.
Fenomena
yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka
harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka
harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Dengan kata lain, pemahaman pada
zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memerhatikan
kurva Demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Poin
controversial dalam anallisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah penngendalian
harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya
didasarkan pada hadist Rasulullah SAW.
“Pada
masa Rasulullah SAW; harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada
Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda,
tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak
bias mencampuri urusan dan ketetapanNya”.
Penting
diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan
harga dengan menambah supply bahan makanan dan mereka menghindari control
harga. Kecenderungan yang ada pada dalam pemikiran ekonomi islam adalah
membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup
lainnya, dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan
penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.[19]
Abu Abdillah Muhmmad bin Al Hasan (Al-Syaibani) 132-189H
Biografi Abu Abdillah Muhmmad bin Al Hasan (Al-Syaibani)
Abu Abdillah
Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di
kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya
berasal dari negeri Syaiban diwilayah jazirah Arab.Bersama orang tuanya,
Al-Syaibani pindah kekota Kuffah yang ketika itu merupakan salah satu pusat
kegiatan ilmiah. Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadits
kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin
Dzar, dan Malik bin Mughul. Pada
periode ini pula, Al-Syaibani yang baru berusia 14 tahun berguru kepada Abu
Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai nama yang terakhir meninggal dunia. Seteah
itu, ia berguru kepada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti
Abu Hanifah, sehingga keduanya tercatat sebagai penyebut mazhab Hanafi.[20]
Pada saat menuntut
ilmu, Al-Syaibani tidak hanya berinteraksi dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits.Ia layaknya para
ulama terdahulu, berkelana keberbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syirya,
Basrah, dan Khurasan untuk belajar kepada para ulama besar, seperti Malik bin
Anas, Sufyan bin ‘Uyainah dan Auza’i. ia juga pernah bertemu dengan Al-Syafi’i
ketika belajar al-Muwattahpada
Malik bin Anas. Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya.Al-Syaibanimenjadi lebih banyak mengetahui
berbagai hadits yang luput dari perhatian Abu Hanifah. Dari keluasan
pendidikannya ini ia mampu mengombinasikan antara aliran ahl al-ra’yi di Irak dengan ahl al-hadits di Madinah.[21]
Setelah memperoleh
ilmu yang memadai, Al-Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu telah
berada dalam kekuasaan Daulah Bani Abbasiyah. Ditempat ini ia mempunyai peranan
penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal
tersebut semakin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apa lagi
ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menetapkan mazhab Hanafi sebagai
mazhab Negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal
dunia, khalifah Harun Al-Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kotaRiqqah,
Irak. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian
mengundurkan diri untuk lebih berkosentrasi pada pengajaran dan penulisan
fiqih. Al-Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al-Ray
dekat Teheran dalam usia 58 tahun.[22]
Karya-Karya Al-Syaibani
Dalam menuliskan pokok-pokok pemikiran
fiqihnya, Al-Syaibani menggunakan istishan sebagai metodeijtihadnya. Ia merupakan sosok ulama yang sangat
produktif. Kitab-kitabnya dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan, yaitu:
- Zhahir al-Riwayah, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al-Mabsut, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-siyar Shaghir, dan al-Ziyadat. Kesemuanya ini dihimpun Abi Al-Fadhl Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad Al-Maruzi (w. 334 H/ 945 M) dalam satu kitab yang berjudul al-Kafi.
- Al-Nawadir, yaitu kitab yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri seperti Amali Muhammad fi al-Fiqh, al-Ruqayyat, al-Makharij fi al-Hiyalm al-Radd ‘ala Ahl Madinah, al-Ziyadah, al-Atsar,dan al-Kasb. [23]
Pemikiran
Ekonomi Al-Syaibani
Dalam mengungkapkan pemikiran
ekonomi Syaibani, para ekonom Muslim banyak merujuk pada kitabal-Kasb sebuah
kitab yang lahir sebagai respon penulis terhadap sikap zuhud yang tumbuh dan
berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan
kajian ,mikroekonomi yang berkisar pada teori kasb (pendapatan)
dan sumber-sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi. Kitab
tersebut termasuk kitab pertama di dunia Islam yang membahas permasalahan ini.oleh karena itu tidak berlebihan bila Dr.
Al-Janidal menyebut Al-Syaibani sebagai salah seorang perintis ilmu ekonomi
Islam.[24]
1. Al-Kasb (kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-Kasb sebagai
mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam ilmu ekonomi,
aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi.Dalam ekonomi
Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut sebagai
aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat dengan halal
haramnya suatu barang atau jasa dan caramemperolehnya. Dengan kata lain,
aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat diebut
sebagai aktivias produksi. Produksi dilakukan karena barang atau jasa itu
memepunayi utilitas (nila-guna).Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa
mempunyai nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang diungkapkan
oleh Syaibani kemslahatan hanya dapat dicapai dengan memlihara limaunsur pokok
kehidupan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[25]
Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda dengan konsep ekonomi konvensional
yang menganggap bahwa suatu barang atau jasa mempunayi nilai-guna selama masih
ada orang yang menginginkannya.
Dalam pandangan Islam aktivitas
produksi merupakan bagian dari kewajiban ‘imaratul kaum yakni
menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk.Berkenaan dengan hal
tersebut Syaibani mengaskan bahwa kerja yang merupakan unsur utama produksi
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena menunjang
pelaksanaan ibadah kepada Allah swt. Disamping itu Syaibani juga mneyatakan
bahwa bekrja merupakan ajaran para Rasul terdahulu dan kaum Muslimin
diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.[26]
2. Kekayaan dan Kefakiran
Setelah membahas kasbfokus
perhatian Syaibani tertuju pada permasalahan kaya dan fakir.Menurutnya
sekalipun banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat
fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.Ia menayatakan
bahwa apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian
bergegas pada kebijakan, sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya,
adalah lebih baik bagi mereka. Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir
diartikannya sebagai kondisi yang cukup (kifayah), bukan kondisi papah
dan meminta-minta (kafafah).Dengan demikian, pada dasarnya Al-Syaibani
menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan, baik untuk diri sendiri maupun
keluarganya. Disisi lain ia berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi
membawa pemiliknya hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menetang
gaya hidup yang lebih cukup selama kelebihan tersebut hanya dipergunakan untuk
kebaikan.[27]
3. Klasifikasi
Usaha-Usaha Perekonomian
Menurut Al-Syaibani usaha-usaha
perekonomian terbagi atas empat macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan,
pertanian, dan perindustrian.Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga
yaitu pertanian, perindustrian, dan jasa. Al-Syaibani lebih mengutamakan usaha
pertanian dari pada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangant menunjang dalam melaksanakan
berbagai kewajibannya.Dari segi hukum, Syaibani membagi
usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu
‘ain. Berbagai usaha perekonomian dihukum fardu kifayah apabila telah ada
orang yang mengusahakannya atau menjalankannya, roda perekonomian akan terus
berjalan, dan jika tidak seorangpun menjalankannya maka tanah roda perekonomian
akan hancur beranktakan yang berdampak pada semakin banyknya orang yang hidup
dalam kesengsaraan.[28]
Berbagai usaha perekonomian dihukum
fardu ‘ain karena usaha-usaha perekonomian itu mutlak dilakukan oleh seseorang
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan orang yang ditanggungnya. Bila
tidak dilakukan usaha-usaha perekonomian, kebutuhan dirinya tidakakan terpenuhi
begitupun dengan orang yang ditanggungnya sehimgga akan menimbulkan kebinasaan
bagi dirinya dan orang yang ditanggungnya.[29]
4. Kebutuhan-Kebutuhan
Ekonomi
Al-Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan
berdiri kecuali dengan empat perkara yaitu, makan, minum, pakaian dan tempat
tinggal. Para ekonom yang lain mengatakan bahwa keempat hal itu adalah tema
ilmu ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi,
ia akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa keempat hal
tersebut.[30]
5. Spesialisasi dan
Distiribusi Pekerjaan
Al-Syaibani menyatakan bahwa manusia
dalam hidupnya selalu membutuhkan orang lain. Seseorang tidak akan menguasai
semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya, dan kalaupun manusia berusaha
keras usia akan membatasi dirinya. Dalam hal ini kemaslahatan hidup manusia
sangat tergantung padanya. Oleh karena itu Allah SWT memberikan kemudahan pada
setiap orang untuk menguasai pengetahuan salah satu diantaranya, sehingga
manusia dapat bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut Syaibani
menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan seorang yang kaya, sedang yang
kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut,
manusia akan semakin mudah dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada Allah SWT.
Lebih lanjut Syaibani menyatakan bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat
melaksanakan ketaatan kepada Allah atau membantu saudaranya untuk melaksanakan
ibadah kepada Allah, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai
denganniatnya.[31]
Abu Ubaid (150-224H)
Biografi Singkat Abu Ubaid
Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah
(Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari
ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam
ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di
Makkah.
Ia belajar pertama kali di kota
asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar
tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak
dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah
campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang
berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk
Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di
Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun
219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam pandangan ulama lainnya,
seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal,
Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang
fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati),
Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid
yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut
Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak
memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang
yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû
‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk
shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang
itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut
Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad
bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat
tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi
yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam
besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya
ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat
diidentikkan pada satu mazhab tertentu.[32]
Hasil karyanya ada sekitar 20, baik
dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalahKitâb
Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari
Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam
Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad
kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi
asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang
masalah ekonomi.[33] Dalam
bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain
tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
Agak sulit melacak latar belakang
kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau
hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M).[34]Dalam
penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal
yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H),
Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn
Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama
ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari
selain fuqaha juga filosof dan sufi. Masa Abbasiyah ini
merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance.
Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun
oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini
terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi
(775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim
(833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil
(847-861 M).[35]pada
masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil
pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi
pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu,
penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.
Popularitas Daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya
al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan
buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke
Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya
hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu
pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu
karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar.
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui
gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi
juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama,
Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan
bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsirbi al-Ra’yi (metode
rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat
sahabat.[36]
Imam mazhab hukum yang empat hidup
pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah,
kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan
masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu,
madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya,
Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid.
Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak
menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini
ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal
(780-855 M).
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi,
kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal
dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang
optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan
nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn
Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang
menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang
juga ahli dalam ilmu Geografi.
Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari
para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan
publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan
selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi
dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari
bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abû
‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman
ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl,
serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi
pejabat di Tarsus.
Awal pemikirannya dalam kitâb
al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap
militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan
di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya. Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû
‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya.
Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari
sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi
asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în.
Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim)
daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa.
Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan
aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan
pendekatan praktis.
Dengan tidak menyimpang dari tujuan
keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid
lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari
pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan
nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid
menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III
hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian
adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta
institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata
lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum
berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat
eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.
Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû
‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam
berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim
bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka. Tetapi dalam kitâb
al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn
Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia
sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar
ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah,
Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.
Sementara itu tuduhan yang
dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang
dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi, bahwa Abû
‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan
persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal
itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama
tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika
terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan,
kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i
tanpa menyebut nama.
Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid
1. Filosofi Hukum dari Sisi
Ekonomi
Jika isi buku Abû ‘Ubaid dievaluasi
dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan
sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan
membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia
memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan
negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka
ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir
pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga
pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat
keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di
antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada
ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan
pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan
pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus
diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak
ditunaikan.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap
otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah
taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk
setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip
dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan
bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan
apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû
‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara
tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan
pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau
kemanfaatan publik.
Saat membahas tentang tarif atau
persentase untuk pajak tanah danpoll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya
keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial
modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga
memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan
Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang
untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh
perjanjian perdamaian.
Ia membela pendapat bahwa tarif
pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû
‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi
Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya
itu akan dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan
beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj,
jizyah, ‘ushuratau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain
bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan
pantas (wajar). Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya
penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak
merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun
ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya
berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid
mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi
taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu
atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut
terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu
ijtihad yang didasarkan pada nash.
Dikotomi Badui (masyarakat
tradisional/desa) ke Urban(masyarakat kota)
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda
dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan
negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara
dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3)
menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran)
keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial
melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed
finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat
berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû
‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan,
pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah
kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik
sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti
kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara,
mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’ hanya
pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan
musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini
pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada
anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan
walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin
karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap
kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari
para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan
tunjangan.
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan
antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan
komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta
kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan
horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan
makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari
universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding
kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat
mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division
of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan
organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû
‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas
sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan
antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
Kepemilikan dalam Pandangan
Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abû ‘Ubaid mengakui adanya
kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut
sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang
baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian
ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan
seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi
terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang
diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan
produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk
meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan
untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan
menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan
dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima,
pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang
sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang
sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala
tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah tidak cukup dalam kepemilikan
sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah
sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan
atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut
yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi
dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari
publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak
boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi).
Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan
untuk pelayanan masyarakat.
4. Pertimbangan Kepentingan
Setelah merujuk pada banyak pendapat
tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak
setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan
kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas
tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang
paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta
bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada
waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang
memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan
pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid
menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib
zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini
mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait
dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan
menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima
zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia
mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû
‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar
lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat
ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola)
atas kebijakan imam.
5. Fungsi Uang
Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua
fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai
pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium
of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid
terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan
relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain.
Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang
berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai
(store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya
fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang
wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.
Abû ‘Ubaid mengungkap sebuah bab
terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung
beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau
benda, yang juga merupakan ciri khusus dari kitâb al-Amwal di
antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah
Abdul Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang
yang ada dalam sirkulasi.
KESIMPULAN
1. Imam
Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H/699 M. Demikianlah menurut
riwayat yang masyhur. Nama beliau yang sebenarnya mulai dari kecil ialah Nu‟man
bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persia (Kabul,
Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah.
Dengan ini teranglah bahwa beliau bukan keturunan dari bangsa Arab, melainkan
beliau dilahirkan di tengah-tengah bangsa Persia. Beliau meninggal di Baghdad, tahun
150 H, dalam usia 70 tahun.
Abu Hanifa menyumbangkan
beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam ,yaitu suatu
bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang
dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Salah
satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan
dalam masalah transaksi.
2. Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunaisbin Sa’ad Al Anshari
Al Jalbi Al Kufi Al Baghdadi atau yang di kenal dengan nama Abu Yusuf terkenal
sebagai Qadi ( hakim ) dilahirkan di Kufa pada tahun 113 H (731M) dan wafat di
Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling
terkenal adalah kitab Al-Kharaj.
Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam
menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan
jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian
ekonomi modern. Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam menjelaskan prinsip
mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di
dalamnya yaitu produsen dan konsumen. Jika karena suatu hal selain monopoli,
penimbunan atau aksi sepihak yang itdak wajar dari produsen terjadi karena
kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok
harga. Penetuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran dalam ekonomi. Selain Al-Kharaj, beliau menulis Al-Jawami, buku yang sngaja
ditulis untuk Yahya bin Khalid, selain itu juga menyusun Usul Fiqh Hanafiah (
data-data fatwa hukum yang disepakati Imam Hanafiah bersama murid-muridnya.
Kekuatan
utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan pablik, serta
banyak membahas masalah hubungan Negara dan aktivitas ekonomi, ia juga banyak membahas persoalan mengenai
pajak yang dikenal oleh parah ahli sebagai canonso of taxation , dan mengenai
mekanisme harga.
3. Nama lengkap
Al-Syaibani adalah Abu Abdillah Muhammad bin al-Hasan bin Farqad al-Syaibani.
Beliau lahir pada tahun 132 H (750M) di kota Wasit, ibu kota dari Irak pada
masa akhir pemerintah Bani Umawiyyah. Ayahnya berasal dari negeri Syaiban di
wilayah Jazirah Arab. Ia meninggal dunia pada tahun189 H
(804 M) di kota al Ray, dekat Teheran Iran,dalam usia 58 Tahun.
Konsep pemikiran Al Syabani
diantranya adalah mengenai konsep Al Kabs (Kerja), Kekayaan dan kefakiran,
kelasifikasi usaha-usaha perekonomian, kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan
spesailisasi dan distribusi pekerjaan.
4.
Abu Ubaid bernama lengkap
Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Ia
lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan
ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh
ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi
berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, Baghdad.
Ilmu-ilmu yang dipelajarinnya antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab,
qira’at, tafsir, hadis, dan fiqih. Ia meninggal dunia pada tahun 224 H di
Mekkah.
Pemikiran ekonomi Abu Ubaid banyak tercantum dalam karya kitabnya
yang berjudul al Amwal yang memuat berapa prinsip ekonomi dan pemerintahan, di
antaranya: mengenai hak dan kewajiban pemerintah dan rakyatnya, mengenai
doktrin badui – Urban, kepemilikan dalam konteks kebijakan perbaikan pertanian,
pertimbangan kebutuhan, dan fungsi uang. Inti dari doktrinya adalah pembelaan
terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata berdasarkan prinsip
keadilan fiskal dengan sebaik dan sesempurna mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam; Permasalahan dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
CE. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Bandung:
Mizan, 1993. Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fiqh : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2007.
Hery, Sucipto. Ensiklopedi Tokoh Islam (Dari Abu Bakar sampai Nashr
dan Qardhawi). Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2003.
Jaya Bakri, Asafri, Konsep
Maqashid Syariah Menurut al-Syatibi, Jakarta:
PT Raja
Grafindo, Persada, 1996.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fikih Lima Madzhab. Terjemahan oleh,
Masykur A.B. dkk. Jakarta: Penerbit Lentera, 2006.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai
Aspeknya, jilid II, Jakarta: UI Press, 1985.
Perwataatmadja,
Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah
pada Fakultas Syari’ah,
2000/2001.
Siddiqi, M.
Nejatullah, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in
Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992.
Suwaidan , Dr Tariq. Biografi Imam Abu Hanifah. Jakarta:
Zaman, 2003.
Yafie, Ali, Menggagas
Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994. Zallum, Abdul Qadim, System Keuangan di Negara Khilafah, terj
oleh Ahmad. S, dkk,
Bogor:pustaka thariqul izzah, 2002.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul
Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.