KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA AL-KHULAFA AR-RASYIDUN
Pada masa awal
penyebaran Islam, Madina merupakan Negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas
yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu peletakkan dasar-dasar
sistem keuangan Negara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, merupakan langkah
yang sangat signifikan, sekaligus brilian dan spektakuler sehingga Islam pada
masa itu menjadi sebuah agama dan Negara
yang berkembang pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Kebijakan
fiskal yang diterapkan oleh Rasulullah diantaranya adalah jizyah atau pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim
sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta dan kebebasan. Beliau juga menerapkan
system kharaj yaitu pajak tanah yang
dipungut dari kaum non muslim atas tanah hasil penaklukkan, ushr atau bea impor, zakat fitrah,
wakaf, infaq, sedekah dan sebagainya. Peranan dari kebijakan-kebijakan fiskal
yang diambil oleh Rasulullah ini bertujuan demi meningkatkan kesejahterahkan masyarakat terutama bagi orang-orang miskin, agar tidak
terjadi ketimpangan antara yang kaya dan miskin. Pendapatan-pendapatan Negara
tersebut kemudian dikumpul dan disimpan ke baitulmaal lalu didistribusikan bagi
kepentingan kaum muslimin.
Setelah
Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar Al-Shiddiq terpilih sebagai khalifah islam
yang pertama. Kemudian diteruskan oleh Umar ibn al-Khattab, Ustman ibn
Affan dan terakhir dipimpin oleh Ali ibn
Abu Thalib. Keempat khalifah ini sangat berperan penting dalam mempertahankan
eksistensi islam termasuk kebijakan fiskal yang telah di cetuskan oleh
Rasululaah saw. Walaupun pada realitanya kondisi perekonomian terus berkembang
dengan banyaknya tantangan, pedoman para khalifah tersebut tetap kembali pada
konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada makalah ini
penulis akan mengangkat kisah klasik tentang perekonomian para
khulafaurrasyidin dalam lingkup kebijakan fiskal pada masa kepemimpinan mereka,
yang tentunya dapat menjadi bahan baku untuk memperbaiki kondisi perekonomian
saat ini dan yang akan datang,
Definisi dan Konsep Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan
pemerintah untuk mengelola perekonomian kekondisi yang lebih baik dengan cara
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dapat juga
diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran
belanja dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Menurut islam,
system ekonomi islam pada dasarnya dibagi kedalam tiga sektor utama, yaitu
sektor publik, sektor swasta dan sektor keadilan sosial. sektor publik
merupakan sektor perekonomian yang melibatkan peran Negara dan dapat dianggap
sebagai sektor fiskal. Adapun fungsi sektor kebijakan fiskal menurut islam
adalah;
a.
Pemeliharaan terhadap hukum, keadilan,
dan pertahanan.
b.
Perumusan dan pelaksanaan terhadap
kebijakan ekonomi.
c.
Manajemen kekayaan pemerintah yang ada di BUMN.
d.
Intervensi ekonomi oleh pemerintah jika
diperlukan.[1]
Fungsi ini pada dasrnya berlaku sama
didunia, meskipun dalam berbagai praktik dan implementasinya seringkali berbeda
dan disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku dalam sebuah pemerintahan yang
ada dinegara tersebut. sedangkan fungsi fiskal menurut konvensioanl adalah
fungsi dalam tataran perekonomian yang sangat identik dengan kemampuan yang ada
pada pemerintah dalam masalah menghasilkan pendapatan untuk kebutuhannya lalu
mengalokasikan anggarannya yang ada atau biasa disebut dengan anggaran belanja
Negara dan juga mendistribusikannya agar tercapai apa yang dinamakan dnegan
efesiensi Negara.
Bentuk
kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal dibedakan
kepada dua golongan, yaitu Penstabil otomatik dan kebijakan fiskal deskresioner
Penstabil otomatik adalah
bentuk-bentuk system fiskal yang berlaku secara otomatis cenderung untuk
menimbulkan kestabilan dalam kegiatan ekonomi. Dalam suatu perekonomian modern,
penstabil otomatik adalah system perpajakan yang progresif dan proporsional,
diamana system perpajakan progresif ini mengenakan spersentase lebih tinggi
seiring semakin tingginya jumlah pendapatan berupa pajak pendapatan individu.
Sementara pajak proporsial merupakan suatu system perpajakan yang mengenakan
persentase yang sama terhadap seluruh tingkat pendapatan, dikenakan pada
perusahaan-perusahaan korporat berdasarkan keuntungan yang diperoleh.
Pada posisi yang sama, penstabil otomatik mempengaruhi
kebijakan harga minimum. Sebuah sistem pengendalian harga yang bertujuan
menstabilkan pendapatan para petani dan pada waktu yang sama menjaga agar
pendapatannya cukup tinggi.
Kemudian sistem asuransi pengangguran, adalah sebuah
sistem dalam bentuk jaminan sosial yang diberikan kepad penganggur. Sistem ini
pada dasarnya mengharuskan tenaga kerja yang sedang bekerja membayar asuransi
pendapatan dan menerima sejumlah pendaatan yang ditentukan pada saat
menganggur.
Kebijakan fiskal deksrisioner adalah langkah-langkah dalam bidang
pengeluaran pemerintah dan perpajakan secara khusus membuat perubahan
Keatas sistem yang ada,
yang bertujuan untuk mengatasimaslah-maslah ekonomi yang diahadapi. Karena
ternyata penstabil otomatik walaupun menjalankan fungsi yang penting dalam
mengurangi fluktuasi kegiatan ekonomi dari satu period eke periode yang
lainnya, namun tetap tidak dapat mengatasi masalah pengangguran atau inflasi
dalam prekonomian, sehingga dibutuhkanlah suatu kebiajakn fiskal deskresioner. [2]
Sistem Ekonomi dan Kebijakan Fiskal
pada Masa Pemerintahan Al-Khulafa
Ar-Rasyidun
Al-khulafa ar-rasyidun dikenal
sebagai para khalifah yang tak asing lagi dikalangan kaum muslim saat ini.
Dialah Abu bakar Al-Siddiq, Umar ibn Khattab, Ustman ibn Affan dn Ali ibn Abu
Thalib. Merekalah yang berperan penting
mengurus segala urusan agama dan
Negara yang begitu banyak dan kompleks, sampai untuk urusan terkecilpun tidak
luput dari perhatian mereka. Adapun sistem ekonomi dan kebijakan fiskal dari
keempat khalifah tersebut, maka diawali terlebih dahulu pada masa pemerintahan Abu Bakar al-Siddiq kemudian tiga
khalifah setelahnya.
1. Sistem Ekonomi Dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq
Setelah Rasululah saw. Wafat, abu bakar al-shiddiq yang
bernama lengkap Abdullah ibn abu quhafah al-tamimi terpilih sebgai khalifah
islam yang pertama. Ia merupakan pemimpin agama sekaligus kepala Negara kaum
muslimin. Pada masa pemerintahannya yang hanya berlangsung slam dua tahun, abu
bakar al-shiddiq banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasa dari
klompok mutrad, nabi palsu dan pembangkang zakat. Ketika terpilih sebagai
khalifah, abu bakar pernah berkat” seluruh kaum muslimin telah mengetahui bahwa
hasil perdaganganku tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Namun sekarang
aku dipekerjakan untuk mengurus kepentingan kaum muslimin.” Sejak menjadi
khalifah, kebutuhan keluarga abu bakar diurus dengan manggunakan harta baitul
maal. Menurut beberapa riwayat, Ia diperbolehkan mengambil dua setengah atau
tiga perempat dirham setiap harinya dari baitul maal dengan tambahan makanan
berupa daging domba dan pakaian biasa.[3]
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat islam
khalifah abu bakar al- siddiq melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi yang pada
umumnya masih sama pada zaman Rasulullah saw. Ia sangat memperhatikan
keakuratan perhitungan zakat sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan
pembayarannya. Hasil pengumpulan zakat dijadikan sumber pendapatan Negara dan
disimpan dalam baitul maal untuk langsung didistribusikan seluruhnya secara merata kepada kaum muslimin hingga tak
ada sisa. seperti halnya Rasulullah saw., abu bakar juga melaksanakan kebijakan
pembagian tanah hasil taklukkan,sebagian diberikan kepada kaum muslimin dan
sebgian yang lain tetap menjadi tanggungan Negara.
Ada beberapa langkah-langkah yang dilakukan abu bakar
al-shiddiq dalam manajemen fiskalnya, yaitu:
a.
Perhatian terhadap keakuratan
perhitungan zakat.
b.
Pengembangan pembangunan baitul maal dan
penanggugjawab baitu maal.
c.
Menerapkan konsep balance budget pada baitul maal, dimana pendapatan langsung didistribusikan tanpa ada
cadangan. Sehingga saat beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam
perbendaharaan Negara.
d.
Melakukan penegakkan hukum terhadap
pihak yang menolak membayar zakat dan pajak pemerintah.
e.
Secara individu abu bakar adalah seorang
praktisi akad-akad perdagangan. [4]
2. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab
Pada
masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun umar ibn al-khattab
banyak melakukan ekspansi hingga wilayah islam meliputi jazirah arab, sebagian
kekuasaan romawi (Syria, palestina, dan mesir), serta seluruh wilayah kerajaan
Persia, termasuk irak.
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, umar ibn al-akhattab segera mengatur
administrasi Negara dengan mencontoh Persia.
Kebijakan yang telah dilakukan Umar pada msa
pemerintahannya adalah:
a.
Reorganisasi Baitul Maal, dengan menjadikan baitul maal sebagai lembaga resmi
Negara yang dikenal dengan al-diwan (sebuah
kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjanagn angkatan perang dan
pension serta tunjangan- tunjangan lain), dimana seluruh karyawan digaji
menurut standar penggajian pada masa tersebut. serta adanya pengeluaran dana
pension bagi mereka yang bergabung dalam kemiliteran.
b.
Diberlakukan sistem cadangan dana darurat, dimana dari sumber penerimaan yang
ada didisrtibusikan seluruhnya. Hal ini untuk membiayai angkatan perang dan
kebutuhan darurta untuk umat.
c.
Pemerintah bertanggungjawab terhadap
pemenuhan kebutuhan minimum makanan dan pakaian kepada warga negaranya.
d.
Diverifikasi terhadap objek zakat,
diaman dilakukan objek yang dpaat dikenakan objek zakat baru. Dalam bahasa
fiskal saat ini biasa dikenal dengan ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan
Negara.
e.
Pengembangan ushr (pajak pertanian)
f.
Undang-undang perubahan pemilikan tanah
(land reform), diaman tanah-tanah
yang tidak produktif dikuasai Negara
untuk diolah masyarakat dan masyarakat membayar kharaj atas tanah yang telah
diolah tersebut.
g.
Pengelompokkan pendapatan Negara pada
masa umar terbagi dalam empat bagian:[5]
Tabel.
1. Pengelompokkan Pendapatan Negara Pada Masa Khalifah Umar Ibn Al-Khattab
Sumber
pendapatan
|
Pengeluaran
|
Zakat
dan ushr
|
Pendistribusian
untuk masyarakat setempat, jika ada surplus maka surplus tersebut disimpan.
|
Khums
da shadaqah
|
Fakir
miskin dan kesejahteraan
|
Kharaj,
fay, jizyah, ushr, sewa tetap
|
Dana
pensiun, dnam pinjaman (allowance)
|
Pendapatan
dari semua sumber
|
Pekerja,
pemelihara anak terlantar dan dana sosial.
|
3. Sistem Ekonomi Dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Ustman Ibn Affan
Pada masa pemerintahannya yang
berlangsung selama 12 tahun, khalifah Ustman Ibn Affan berhasil melakukan
ekspansi ke wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa
dari Persia, perang Transoxania dan Tabaristan. Ia juga berhasil menumpas
pemberontakan didaerah kurasan dan iskandariah.
Pada enam tahun pertama masa
pemerintahannya, khalifah ustam ibn affan melakukan penataan baru dengan
mengikuti kebijakan Umar ibn Al-Khattab.
Dalam rangka pengembangan sumber daya alam, ia melakukan pembuatan saluran air,
pembangunan jalan-jalan, dan pembentukan organisasi kepolisian secara permanen
untuk mengamankan jalur perdagangan. [6]
Khalifah Ustman ibn Affan tidak
mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya ia meringankan beban pemerintah dalam
hal-hal yang serius, bahkan menyimpan uangnya dibendahara Negara. Hal tersebut
meninggalkan kesalahpahaman dengan Abdullah ibn Irqam, bendahara baitul Maal. Konflik ini tidak hanya membuat
Abdullah menolak upah dari pekerjaanya, tetapi juga menolak hadir pada setiap
pertemuan public yang dihadiri khalifah. Permasalah tersebut semakin rumit
ketika muncul berbagai pertanyaan kontroversi mengenai pembelanjaan harta
baitul maal yang tidak hati-hati.
Khalifah Ustman Ibn affan tetap
mempertahankan pemberian bantuan dan santunan serta memberikan sejumlah besar
uang kepada masyarakat yang berbeda-berbeda. Meskipun meyakini prinsip
persamaan dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, ia memebrikan bantuan
berbeda pada tingkat yang lebih tinggi dengan demikian pendistribusian harta
baitul maal, Khalifah Ustman Ibn Affan menerapkan prinsip keutamaan seperti halnya Umar Ibn
Al-Khattab.
Dalam hal pengelolaan zakat,
khalifah ustman ibn affan mendelaegasikan kewenangan menaksir harta yang
dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan masalah dalam
pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa oknum pengumpul zakat.
Disamping itu, khlifah ustam berpendapat bahwa zakat hanya dikenakan terhadap
harta milik seseorang setelah dipotong seluruh utaang-utang bersangkutan. Ia
juga mengurangi zakat dari dana pensiun. Selama menjadi khalifah, ustamn ibn
Affan menaikkan dana pension sebesar 100 dirham disamping memberikan ramsum
tambahan berupa pakaian. Ia juga memperkenalkan tradisi mendistribusikan
makanan di masjid untuk para fakir miskin dan para musafir.
Untuk meningkatkan pengeluaran
dibidang pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pension dna pembangunan
berbagai wilayah taklukan baru, Negara membutuhkan dana tambahan. Olehkarena
itu, khalifah ustman bin Affan membuat beberapa perubahan administrasi tingkat
atas dan pergantian beberapa guberbur. Sebagai hasilnya, jumlah pemasukan kharj dan Jizyah yang berasal dari mesir
meningkat dua kali lipat, yakni dari dua juta dinar menjadi empat juta dinar
stelah melakukan pergantian gubernur dari Amr kepada Abdullah bin Saad. Namun
hal ini mendpat kecaman dari Amr. Menurutnya pemasukan yang besar diperoleh
gubernur, Abdullah bin Saad merupakan hasil pemerasan penguasa terhadap
rakyatnya.[7]
4. Sistem Ekonomi dan Fiskal
Pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Masa pemerintahan Ali
Ibn Abu Thalib yang hanya berlangsung selama enam tahun selalu diwarnai dengan
ketidakstabilan kehidupan politik. Ia harus mengahdapi pemberntakan thalhah,
zubair ibn al-awwan dan aisyah yang menuntut kematian ustman ibn affan.
Berbagai kebijakan tegas yang diterapkannya menimbulkan api permusuhan dengan
keluarga bani Umayyah yang dimotori oleh muawiyah ibn abi sofyan.
Sekalipun demikian
khalifah Ali ibn Abu Thalib tetap berusaha untuk melaksanakan berbagi kebijakan
yang dapat e=mendorong penigkatan kesejahteraan umat islam. Menurut riwayat, ia
secara sukarela menarik diri dari daftar penerima dana sukarela dan dana
bantuan baitu lmaal, bahkan menurut riwayat yang lain,Ali memebrikan sumbangan
sebesar 5000 dirham setiap tahun. Apapun faktanya, kehidupan Ali sangat
sederhana dan sangat ketat dalam
membelanjakan keuangan Negara. Dalam sebuah riwayat, saudaranya yang bernama
Aqil pernah mendatangi Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk meminta bantuan
keuangan dari dana Baitul Mal. Namun Ali menolak permintaan tersebut. dalam
riwayat yang lain, Khalifah Ali diberitakan pernah memenjarakan Gubernur Ray
yang dianggapnya telah melakukan tindak pidana korupsi.
Selama pemerintahannya, Khalifah Ali ibn Abi Thalib
menetapakan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan
mengizinkan Ibn Abbas, Gubernur Kufah, memungut zakat terhadap sayuran segar
yang digunakan sebagai bumbu masakan.
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, prinsip utama
dari pemerataan distribusi uang rakyat telah diperkenalkan. Sistem distribusi
setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari
pendistribusian atau hari pembayaran.
Pada hari itu, semua
perhitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Cara ini
mungkin solusi yang terbaik dari sudut pandang hukum dan kondisi Negara yang
sedang berada dalam masa transisi. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan bagi
para pengikutnya di Irak.
Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, alokasi
pengeluaran kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa
pemerintahan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah
jumlahnya pada masa Khalifah Usman bin Affan hampir seluruhnya dihilangka,
karena sepanjang garis pantai Syria, Palestina, dan Mesir dibawah kekuasaan
Muawiyah. Namun demikian dengan adanya penjaga malam dan patrol yang telah
terbentuk sejak masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Al-Khattab, Ali membentuk
Polisi yang terorganisasi secara resmi yang disebut syurthah dan pemimpinnya
disebut Shahihus Syurthah. Fungsi
lainnya dari Baitul Mal masih tetap sama dan tidak ada perkembangan aktivitas
yang berarti pada masa ini.
Khalifah Ali ibn Abi Thalib menekankan Malik agar lebih
memeperhatikan kesejahteraan para prajurit dan keluarga mereka an diharapkan
berkomunikasi lansung kepada masyarakat melalui pertemuan , terbuka dengan
orang-orang miskin, orang-orang yang teraniaya, dan para penyandang cacat.
Prinsip-Prinsip Pengelolaan Baitul
Maal
Secara umum, baitul maal adalah
suatu lembaga atau pihak (Arab: al-jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani
segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran Negara. Jadi
setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas
perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak
memilikinya sesuai hukum syara’ dan tidak ditentukan individu pemiliknya ¾
walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya ¾ maka harta tersebut
menjadi hak Baitul Mal, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam
kitabnya An-Nisham Al- Iqtishadi fi Al-Islam telah menjelaskan sumber-sumber
pemasukan bagi baitul mal dan kaidah-kaidah pengelolaan hartanya. Sumber-sumber
tetap bagi baitul mal menurutnya adalah fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah,
pemasukan dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik Negara, ushr,
khimus dari rikaz, tambang, serta harta zakat. Hanya saja, harta zakat diletakkan
pad akas khusus baitil mal, dan tidak diberikan selain untuk 8 ashnaf
(kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al-Quran. Tidak sedikitpun dari harta
zakat tersebut boleh diberikan kepada selain 8 ashnaf tersebut, baik untuk
urusan Negara, maupun urusan umat. Imam (khalifah) boleh saja memberikan harta
zakat tersebut berdasarkan pendapat dan itjihadnya kepada siapa saja dari
kalangan 8 ashnaf tersebut. imam (khalifah) juga berbhak untuk memberikan harta
tersebut kepada 1 ashnaf atau lebig atau membagikannya kepada mereka semuanya.
Begitu pula pemasukan harta dari hak
milik umum. Harta itu diletakkan pada diwan
khusus baitil mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sebab
harta tersebut menjadi hak milik seluruh kaum muslimin yang diberikan oleh
khalifah sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin yang menjadi pandangan dan
itjihadnya berdasarkan hukum-hukum syara’. Sedangkan harta-harta yang lain, yang
merupakan hak baitulmal, diletakkan secara bercampur pada baitul maal dengan
harta yang lain, serta dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, juga 8
ashnaf, dan apa saja yang penting menurut pandangan negara. Apabila harta-harta
ini cukup memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat maka cukuplah dengan harta
tersebut. apabila tidak maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada
seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urutan umat.
Termasuk pula dalam kategori sumber
pemasukan yang diletakkan di dalam baitul maal dan dibelanjakan untuk
kepentingan rakyat adalah harta yang diperoleh oleh seorang ‘asyir dari kafir
harbi dan mu’ahad (disebut dengan istilah usyuur), harta-harta yang diperoleh
dari hak milik umum atau hak milik negara, dan harta-harta waris dari orang
yang tidak mempunyai ahli waris. Apabila hak-hak baitul maal tersebut lebih
untuk membayar tanggungannya, misalnya harta yang ada melebihi belanja yang
dituntut dari baitul maal maka harus diteliti terlebih dahulu, apabila
kelebihan tersebut bersal dari harta fai’ maka kelebihan tersebut diberikan
kepada rakyat dalam bentuk pemberian. Apabila kelebihan tersebut bersal dari
harta jizyah dan kharaj. Baitul maal akan menahan harta tersebut untuk
disalurkan pada kejadian-kejadian yang menimpa kaum muslimin dan baitul maal
tidak akan membebaskan jizyah dan kharaj tersebut dari orang yang wajib
membayarnya. Sebab, hukum syara’ mewajubkan jizyah dari orang yang mampu dan
mewajibkan kharaj dari tanah berdasarkan kadar kandungan tanahnya. Apabila
kelebihan tersebut dari zakat maka kelebihan tersebut harus disimpan di dalam
baitul maal hingga ditemukan 8 ashnaf yang mendapatkan diwan harta tersebut.
oleh karena itu, ketika ditemukan, kelebihan tersebut bersal dari harta yang
diwajibkan kepada kaum muslimin maka kewajiban tersebut dihentikan dari mereka
dan mereka dibebeskan dari pembayaran tersebut.
Pengeluaran atau penggunaan harta
baitul maal menurut raian Taqiyuddin An-Nabhani ditetapkan berdasarkan 6 kaidah
berikut yang didasarkan paaaddda kategori tata cara pengelolaan harta:
a.
Harta yang mempunyai kas khusus dalam baitul
maal, yaitu harta zakat.
Harta tersebut
adalah hak ashnaf yang akan diberikan kepada mereka, bila harta tersebut ada.
Apabila harta dari bagian zakat tersebut ada pada baitul maal maka pembagiannya
diberikan pada 8 ashnaf yang disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagai pihak yang
bernhak aytas zakat, serta wajib diberikan kepada mereka. Apabila harta
tersebut tidak ada maka kepemilikan terhadap harta tersebut bagi orang yang
berhak mendapatkan bagian tadi telah gugur. Dengan kata lain, bila di dalam
baitul maal tidak terdapat harta dari bagian zakat tersebut maka tidak seorang
pun dari 8 ashnaf tadi yang berhak mendapatkan bagian zakat.
b.
Harta yang diberikan baitul maal untuk
menanggulangi terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad.
Apabila harta tersebut ada maka seketika itu wajib diberikan. Apabila tidak
ada, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan atau mafsadat karena
pemberiannya ditunda maka negara bisa meminjam harta untuk dibagikan seketika
itu juga, berapa pun hasil pedngumpulan harta tersebut dari kaum muslimin, lalu
dilunasi oleh negara.
KESIMPULAN
Kebijakan fiskal adalah kebijakan
ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mengelola perekonomian kekondisi yang
lebih baik dengan cara mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ekonomi dan fiskal pada masa
pemerintaha Al-Khulafa Ar- Rasyidun ialah:
1.
Pada masa Abu Bakar Al-Shiddiq yang
hanya berlangsung selama dua tahun, beliau melakukakn kebijakan serta perhatian
penuh terhadap keakuratan perhitungan zakat, pembangunan baitul maal dan
penanggungjawab baitu maal, menerapkan konsep balance budget pada baitul maal, dimana pendapatan langsung didistribusikan tanpa ada
cadangan, melakukan penegakkan hukum terhadap pihak yang menolak membayar zakat
dan pajak pemerintah.
2. Sistem
ekonomi dan fiskal pemerintahan khalifah umar ibn al-khattab ialah melakukan
reorganisasi Baitul Maal,
Diberlakukan sistem cadangan dana
darurat, pemerintah bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan
minimum makanan dan pakaian kepada warga negaranya, verifikasi terhadap objek
zakat, pengembangan ushr (pajak pertanian), menetapkan Undang-undang perubahan
pemilikan tanah (land reform), dan pengelompokkan
pendapatan berdasarkan sumber penerimaan negara.
3.
Sistem ekonomi dan fiskal pemerintahan
khalifah Ustman Ibn Affan pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama 12
tahun, khalifah Ustman Ibn Affan menetapkan keijakan atas pembagian lahan luas
milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami penigkatan dari 9 juta
dirham pada masa Umar menjadi 50 juta dirham pada masa Ustman, meningkatkan
anggaran pertahanan dan kelautan serta meningkatkan dana pension serta dana
pembangunan wilayah taklukan baru, dan membuat beberapa perubahan administrasi
dan menigkatkan kharaj dan jizyah dari mesir.
4.
Pada masa khalifah ali bin abi thalib
selama lima tahun, khalifah Ali menerapkan kebijakan distribusi seluruh
pendapatan baitul maal sama dengan kebijakan yang dilakukan pada masa
Rasulullah saw. Dan Abu Bakar, dan adanya kebijakan pengetatan anggaran negara.
Baitul maal merupakan suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menanagani segala harta. Sumber dana baitul maal berasal dari fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, pemasukan harta dari milik umum, pemasukan dari harta milik negara, ushr, khumus dan rikaz, tambang serta harta zakat. Ada 6 kaidah pengeluaran atau penggunaan harta baitul maal menurut taqayuddin an- nabhani yaitu harta yang mempunyai kas khusus, yaitu harta zakat, harta yang diberikan baitul maal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan serta untuk melaksanakan kewajiban jihad.
Baitul maal merupakan suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menanagani segala harta. Sumber dana baitul maal berasal dari fai’, ghanimah, kharaj, jizyah, pemasukan harta dari milik umum, pemasukan dari harta milik negara, ushr, khumus dan rikaz, tambang serta harta zakat. Ada 6 kaidah pengeluaran atau penggunaan harta baitul maal menurut taqayuddin an- nabhani yaitu harta yang mempunyai kas khusus, yaitu harta zakat, harta yang diberikan baitul maal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan serta untuk melaksanakan kewajiban jihad.
Al-Arif ,Muhammad Nur Arianto.2011. Dasar-Dasar Ekonomi Islam . Solo: PT.
Era Adicitra Intermedia
Azwar Karim,Adiwarman.2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta:PT. Grafindo Persada
Kadir,Amiruddin.2011. Ekonomi dan Keuangan Syariah. Makassar: Alauddin Press
[1] Muhammad Nur Arianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam (Solo; PT. Era Adicitra Intermedia: 2011)
h.215
[2] Muhammad Nur Arianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi ,h.218-220
[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
dalam Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet.V (Jakarta;PT. Grafindo Persada:
2012), h.55
[4] Muhammad Nur Arianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, dalam
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam:
Pendekatan Teoritis, h. 233
[5]
Muhammad Nur Arianto Al-Arif, Dasar-Dasar
Ekonomi Islam,h.234
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, h.79
[7]
Amiruddin Kadir, Ekonomi dan
Keuangan Syariah, Cet. I (Makassar; Alauddin Press:2011), h. 60-61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar