Rabu, 01 April 2015

Penerapan Ekonomi Syariah Saat Ini dan Akan Datang, Meneropong Perbankan Syariah Di Indonesia




Sistem ekonomi islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khursid Ahmad, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi islam, yaitu; tahap pertama dimulai ketika sebagian ulama yang tidak memiliki pendidian formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Masa ini berkisar peretngan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannyaawal dekade 1960-an. Namun tahapan ini masih bersifat prematur dan trial eror, sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Setidaknya hal ini membuka pintu lebar perkembangan selanjutnya.
Rounded Rectangle: 1
Tahapan kedua, dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an dimana para ekonom muslim yang terdidik dari amerika dan eropa mencoba melakukan pengembangan sistem moneter islam. Tahap ketiga diatndai dengan upaya-upaya konkret untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonriba baik sektor swasta maupun pemerintah. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank islam dan lembaga investasi berbasis nonriba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonmi yang lebih mapan. Bank islam pertama kali didirikan adalah  Islamic Development Bank  (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank islam ini adalah kerja sama antara negara-negara islam yang tergabung dalam OKI.
Tahap keempat kemudian ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan  teori dan praktik ekonomi islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.[1]


Penerapan Ekonomi Islam dalam Sektor Perbankan Syariah
1.  Ideologi perbankan Syariah di Indonesia
Sektor keuangan adalah prioritas utama dalam menyediakan pembiayaan bagi tumbuh kembangnya berbagai usaha yang akan menerapkan bisnis berbasis syariah.  Perkembangan yang berlaku dalam bidang perbankan di Indonesia di era reformasi yaitu ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang mana dalam undang-undang tersebut telah diatur dengan terperinci dasar hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, undang-undang tersebut juga memberi wewenang dan arahan bagi bank-bank umum untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversikan diri secara total untuk menjadi bank syariah.
Text Box: 3Nampaknya dalam perspektif perkembangan, kebijakan terhadap dunia perbankan syariah di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir banyak mengalami kemajuan. Sejak 19 tahun pertama kali dicetuskan pada sekitar tahun 1973, kemudian tahun 1992 berdiri Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank yang beroperasi berlandaskan pada prinsip syariah yang pertama. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sekalipun tidak memuat pasal khas yang menyebut prinsip syariah. Tapi sudah cukup menjadi dasar berdirinya bank syariah pertama itu. Keberadaan bank syariah semakin kuat setelah lahirnya UU Nombor 10 tahun 1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank syariah secara ko-eksistensial dengan bank konvensional, jika selama 6 tahun BMI menjadi pemain tunggal jasa perbankan syariah tetapi setelah lahirnya UU tersebut yang banyak dipengaruhi oleh keadaan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Maka bermunculan bank-bank syariah seperti bank syariah Mandiri dan lain-lain.
Di sebutkan dalam undang-undang No 10 tahun 1998 itu tentang perubahan undang-undang perbankan tentang adanya ketentuan syariah, dalam pasal 1 butir 13 disebutkan : “Yang dimaksud dengan Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, kelembagaan, kegiatan usaha, cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain permbiayaan berdasarkan bagi hasil (Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarakah). Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murabahah) atau pembiayaan modal berdasarkan prisip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (Ijarah Iqtina). Maka dengan adanya UU No. 10 Tahun 1998 berlaku dual sistem dalam pentadbiran perbankan iaitu secara konvensional dengan menggunakan bunga (interrest) untuk setiap peminjaman atau penyimpanan dana dan mengunakan sistem bagi hasil yang merupkan dasar perbankan syariah.
Peluang dan kesempatan dari perkembangan diatas disambut dengan menggalakan oleh mesyarakat perbankan, maka sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para pegawainya. Sebahagian bank ada yang mempelajari untuk mendirikan cabang dalam bank yang sudah sedia ada dan sebahagian yang lain mengkonvermasikan diri untuk menjadi bank syariah sepenuhnya, maka jenis perbankan syariah di Indonesia dibagikan kepada dua bahagian :
a. Bank umum syariah, yaitu bank bank yang mengkonversikan diri sebagai bank syariah secara penuh, contohnya adalah bank Syariah Mandiri (BSM) iaitu bank yang merupakan hak milik kerajaan pertama yang berlandaskan dalam operasionalnya pada prinsip syariah.
b. Bank cawangan syariah dari Bank Konvensional, perkembangan yang baik terjadi di era reformasi ini dalam bidang perbankan di Indonesia adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi cabang syariah.
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan merupakan perubahan terhadap undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dalam undang-undang No. 10 tahun 1998 ini telah dirubah dan dimasukan tambahan undang-undang baru khasnya berkaitan dengan bank syariah. Kalau kita analisis berdasarkan Undang-undang tersebut antara bank syariah dan bank konvesional dalam beberapa hal memiliki persamaan, terutama dari segi teknikalnya penerimaan uang mekanisme transfer, syarat-syarat umum untuk mendapatkan pembiayaan, tetapi terdapat perbedaan yang menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja.[2]
Tantangan berat perbankan syariah adalah menjadi sesuai syariah sekaligus tetap dapat menjalankan fungsi perbankan.Bank syariah dihadapkan pada masalah menggabungkan dua konsep yang kontradiktif. Di satu sisi harus menggantikan fungsi perbankan, dan di sisi lain tidak boleh melanggar syariah. Untuk mewujudkan harapan itu, pada dataran ideal, perbankan syariah harus mampu menunaikan tiga tugas berikut:
1) Menjalankan semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi, seperti pembiayaan (financing), memperlancar dan mempermudah urusan transaksi, mengumpulkan dana masyarakat, kliring dan transfer, terlibat masalah moneter dan praktek-praktek perbankan lainnya.
2) Berpegang pada hukum-hukum syariah, sekaligus menyesuaikan tuntutan zaman, terutama pengembangan setiap aspek ekonomi,
3) Berpegang pada asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar, yang sesuai ideologi dan kaidah syariah Islam, serta tidak sekadar menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum keuangan yang dibangun di atas dasar muamalah ribawiyah (transaksi riba).
Tiga tugas tersebut harus ditunaikan bank syariah agar dapat berjalan seiring perkembangan zaman dengan semua fenomena dan problema kontemporernya.[3]
2.  Realita Perbankan Syariah di Indonesia Hari Ini
Tak ada gading yang tak retak. Tampaknya pribahasa itulah yang sesuai dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada saat ini. Di balik perkembangan perbankan syariah yang diinilai cukup baik, ternyata perbankan syariah masih memiliki beberapa permasalahan.
Permasalahan pertama datang dari internal perbankan syariah itu sendiri. Perkembangan perbankan syariah yang baik tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik dari karyawan perbankan syariah terhadap perbankan syariah dan ekonomi Islam. Sehingga adanya anggapan di masyarakat, kinerja bank syariah tidak sebaik kinerja bank konvensional. Hal ini bisa berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Kedua, bank syariah masih memiliki fasilitas-fasilitas yang belum terintegrasi dengan baik, terutama fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Bank syariah masih menggunakan mesin ATM bank lain jika nasabahnya ingin melakukan transaksi melalui mesin ATM. Meskipun ini merupakan kemudahan dari layanan ATM bersama, dimana nasabah yang memiliki kartu ATM dari bank tempat ia mempunyai nomor rekening bisa melakukan transaksi di mesin ATM bank lain, layanan ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi nasabah. Ketidaknyamanan tersebut adalah nasabah akan dikenakan fee jika menggunakan mesin ATM bank lain untuk bertransaksi (misalnya tarik tunai, cek saldo, transfer, dll).
Ketiga, jumlah cabang bank syariah di beberapa daerah juga masih sangat terbatas. Hal ini berdampak pada minimnya masyarakat yang menggunakan jasa perbankan syariah. Market share perbankan syariah pun menjadi tidak begitu tinggi. Seperti yang dilampirkan situs infobank.com bahwa market share perbankan syariah belum mencapai 5 % dari total asset bank secara nasional.[4]
Selanjutnya, permasalahan juga datang dari kebutuhan akan regulasi Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang belum terealisasi, mengingat pentingnya  untuk mendukung terwujudnya sektor jasa keuangan syariah yang sesuai dengan prinsip syariah. [5]
Dan puncak dari permasalahan di atas adalah, masih kurangnya sosialisasi pada masyarakat tentang perbankan syariah. Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang bank syariah. Seperti, masyarakat masih beranggapan sistem bunga pada bank konvensional dan sistem bagi hasil pada bank syariah merupakan dua sistem yang sama, sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan jasa perbankan konvensional yang dinilai telah berpengalaman dalam menjalankan usaha perbankan walalupun sebenarnya perbankan konvensional memberikan sesuatu yang negatif bagi nasabahnya, baik dari segi dunia maupun akhirat.
Melihat realitas yang terjadi, perbankan syariah akhir-akhir  ini sebagai lembaga pembiayaan untuk berbagai usaha yang coba menghindari riba, namun fakta operasioanalnya masih banyak memberatkan nasabah. Kehadiran bank syariah khususnya di Indonesia tidak membawa perubahan berarti , karena misi perbankan syariah masih belum bisa membawa kemaslahatan bagi umat. Hal mana disebabkan praktiknya belum mencerminkan sepenuhnya terhadap upaya untuk fokus mengeluarkan umat dari cengkraman riba yang membawa kemiskinan dan bencana.
Bank syariah hadir karena disyariahkan, hal mana ditunjukkan oleh mayoritas bank syariah berafiliasi atau tunduk kepada bank konvensional yang membentuknya. Dengan kata lain hanya strategi perbankan konvensional mengakomodir pasar syariah di Indonesia. Meskipun ada bank Muamalat yang dibentuk secara tersendiri. Namun tetap saja secara nasioanal bank  yang disyariahkan tersebut masih tunduk dibawa kebijakan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang secara makro berada dalam koridor sistem riba. Walaupun demikian keberadaan bank syariah boleh diterima karena umat Islam masih punya piihan yang baik diantara pilihan terburuk.
Berdasarkan situasi yang dimaksud, dibutuhkan lembaga pembiayaan alternatif bebas riba untuk membiayai semua jenis usaha yang akan diimplementasikan berdasarkan sistem ekonomi kaffahisme. Mitra pembiayaan harus menganut azas bisa bagi untung dan rugi. Pilihannya hanya dengan membentuk lembaga pembiayaan baru, dimana proses awal bisa memakai badan hukum koperasi simpan pinjam yang bebas riba.[6]  
Proyeksi Sektor Perbankan Syariah Dimasa Mendatang
Setelah mengetahui realita perbankan syariah di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya, tentu akan timbul pertanyaan bagaimana nasib perbankan syariah di Indonesia esok?.  Seperti yang Allah jelaskan di Al Quran, Surat Ar Rad ayat 11, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum tersebut mengubah keadaannya sendiri.” Bank syariah masih bisa tumbuh lebih baik lagi dari saat ini jika memang serius melakukan perubahan dan perbaikan.
1)  Pembenahan menuju idealitas
Apa yang menjadi permasalahan saat ini harus segera dibenahi. Mulai dari intern perbankan syariah itu sendiri (misalnya up grading knowledge karyawan perbankan syariah tentang ekonomi Islam) sampai masalah efektivitas regulasi dewan syariah oleh majelis Ulama Indonesia dalam megawasi jalannya aktivitas perbankan agar tetap berada dalam koridor syariah.  
Perbaikan sangat diperlukan mengingat perbankan syariah sangat berpotensi menguatkan perekonomian negara. Perbankan syariah juga mendapat dukungan dari Lembaga Keuangan Islam di seluruh dunia sehingga nantinya membantu perkembangan perbankan syariah maupun perekonomian negara menuju arah yang lebih baik.[7]
Hal penting yang juga tidak boleh dilupakan adalah memaksimalkan sosialisasi perbankan syariah di masyarakat. Jika masyarakat sudah memiliki pengetahuan serta pemahaman yang baik mengenai perbankan syariah dan ekonomi Islam, maka masyarakat tidak perlu ragu lagi terhadap kinerja perbankan syariah. Sehingga, market share bank syariah akan lebih meningkat dan mampu melampaui target Bank Indonesia, yaitu pada Desember 2008, market share bank syariah hampir mencapai 5 % dari total asset bank secara nasional. Namun BI sudah tidak bicara market share 5% lagi. Tapi, kini yang di prioritaskan soal pertumbuhan, growth-nya yang penting karenaItu akan lebih menarik dilihat oleh  investor karena bank syariah  punya growth yang tinggi, yakni di atas 34%. Ini yang ingin ditampilkan dibandingkan dengan market share. [8]
Oleh karena itu  masyarakat pun Insya Allah akan diridhoi Allah karena sudah menerapakan hukum dan aturan-Nya terutama dalam bidang ekonomi. Apa lagi dewasa ini sudah banyak lembaga-lembaga kajian ekonomi Islam, baik untuk masyarakat umum atau kalangan tertentu seperti mahasiswa.
2)  Mewujudkan Karakter Bank Syariah
Membumikan  ketiga tugas bank syariah sangat tergantung kebijakan para praktisi, para pengawas syariahnya, serta pemerintah, untuk mengarahkan perbankan syariah memiliki karakter berbeda dengan perbankan konvensional. Inilah karakter yang dapat membuatnya menunaikan tugas-tugasnya itu.
3)  Bersih dari semua bentuk riba dan muamalah yang dilarang syariat
Ini harus menjadi jorgan dan syiar utama bank syariah. Tanpa itu, ia tidak boleh menyebut lembaga keuangan syariah. Dr. Ghorib al-Gamal menyatakan, karekteristik bersih dari riba perbankan syariah adalah karekteristik utamanya dan menjadikan keberadaannya seiring tatanan yang benar untuk masyarakat Islam. Lembaga keuangan syariah harus mewarnai seluruh aktivitasnya dengan ruh dan motivasi akidah, yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktivitas mereka tidak sekadar bertujuan merealisasikan keuntungan semata. Namun perlu ditambahkan bahwa itu adalah salah satu cara berjihad dalam mengemban beban risalah dan upaya menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang menyelisihi norma dasar Islam. Di atas itu semua, para praktisi hendaknya merasa aktivitasnya adalah ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkan. Mengarahkan segala kemampuan untuk mengembangkan dana masyarakat (at-Tanmiyah) dengan jalan is-titsmar (pengembangan modal) melalui usaha, bukan dengan jalan utang (al-Qardh) yang mengahasilkan keuntungan. Untuk itu, lembaga keuangan syariah harus dapat mengelola hartanya dengan salah satu dari dua hal berikut, yang telah diakui secara syariah:
Investasi pengembangan modal langsung dan riil (al-Is-titsmar al-Mubaasyir). Yakni, bank melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang menguntungkan.
Investasi modal dengan musyarakah. Yakni,bank menanam saham dalam modal sektor riil, yang menjadikan bank syariah tersebut sebagai syariek (sekutu) dalam kepemilikan proyek tersebut dan berperan dalam administrasi, menejemen dan pengawasannya. Bank menjadi syariek dalam semua yang dihasilkan proyek tersebut. Baik berupa keuntungan maupun kerugian, sesuai prosentase yang disepakati para syariek. Karena bank syariah dibangun di atas asas dan prinsip Islam, seluruh aktivitasnya tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan syariah. Hal ini menuntut lembaga keuangan membuat beberapa terobosan berikut:
Pertama, mengarahkan pengembangan modal (investasi) dan memusatkannya di lingkaran produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum Muslimin.
Kedua, menjaga jangan sampai produknya terjerumus dalam lingkaran haram.
Ketiga, menjaga setiap tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.
Keempat, menjaga setiap penyebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) selaras dengan aturan.
Kelima, memusatkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum melihat kepada profit yang akan didapat.[2]
4)  Mengikat pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial.
Lembaga keuangan syariah tidak hanya mengikat pengembangan ekonomi dan pertumbuhan sosial semata. Namun harus menjadikan pertumbuhan sosial masyarakat sebagai asas. Dengan demikian, bank syariah harus memenuhi dua tuntutan ini sekaligus untuk perbaikan masyarakat dan mewujudkan keadilan. Tidak sebagaimana umumnya bank ribawi yang hanya menitikberatkan pada keuntungan, tanpa peduli pertumbuhan sosial kemasyarakatan.
Mengumpulkan harta nganggur dan mengalihkannya untuk aktivitas is-titsmaar (pengembangan modal) dan pengelolaan. Targetnya, pembiayaan (tamwiel) pada proyek-proyek perdagangan, industri dan pertanian. Ini karena kaum Muslimin yang tidak ingin menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariah untuk menyimpan harta mereka.
Memudahkan sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran perdagangan langsung (Harakah at-Tabaadul at-Tijaari al-Mubasyir) di seluruh dunia Islam. Bank juga bekerja sama mewujudkan gerakan tersebut, dengan seluruh lembaga keuangan syariah dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan baik.
Menghidupkan tatanan zakat, dan bank sekaligus merangkap sebagai lembaga zakat, yang mengumpulkan harta zakat bank tersebut. Lalu manajemen lembaga keuangan sendiri yang mengelola lembaga zakat tersebut.
Membangun baitul mal kaum Muslimin dan mendirikan lembaga khusus untuk itu, yang dikelola langsung oleh lembaga keungan tersebut.
Menanamkan kaidah adil dan kesamaan terkait dengan untung dan rugi, dan menjauhkan unsur ihtikaar (penimbunan barang agar menaikkan harga). Bank syariah harus berupaya menyebarkan kemaslahatan untuk kaum Muslimin seutuhnya.
Beberapa karakter perbankan syariah yang disampaikan sebagian ulama itu bisa menjadi tolak ukur evaluasi produk-produk perbankan syariah dan kegiatannya di Indonesia.
Sebagai penutup, pertama, kaum Muslimin harus mengetahui hakikat istilah-istilah syariah agar tidak tertipu janji dan propaganda. Tolok ukurnya hakikat, dan bukan istilah atau nama.
Kedua, kami mengajak dewan pengawas syariah, praktisi perbankan syariah dan masyarakat untuk memahami hakikat istilah yang digunakan produk perbankan syariah dan membandingkannya dengan praktek yang diterapkan perbankan syariah di negeri kita, agar semuanya bergerak berdasarkan ilmu dan berhenti pun dengan ilmu.
Harapan-harapan ke arah perbankan syariah yang lebih baik dari hari ini masih sangat besar. Pintu ke arah itu masih terbuka lebar asalkan semua pihak yang terlibat dalam perbankan syariah benar-benar serius memperbaiki keadaan yang terjadi saat ini serta selalu Istiqomah di Allah yang menuntun kebahagian dunia dan akhirat. [9]
 

Referensi

[1] Muhammad Nur Rianto Al-Arif, Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Cet.I; Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), h.72
[6] Zulfikar MS,  Kaffahisme: Ideologi Ekonomi Masa Depan, (Cet.I;Jakarta: Kompas Gramedia, 2014), H.60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar