Sistem ekonomi islam mengalami
perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khursid Ahmad, ada empat
tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi islam, yaitu; tahap pertama
dimulai ketika sebagian ulama yang tidak memiliki pendidian formal dalam bidang
ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan
sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Masa
ini berkisar peretngan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannyaawal
dekade 1960-an. Namun tahapan ini masih bersifat prematur dan trial eror, sehingga dampaknya masih
sangat terbatas. Setidaknya hal ini membuka pintu lebar perkembangan
selanjutnya.
Tahapan kedua, dimulai pada akhir dasawarsa 1960-an dimana para ekonom muslim yang terdidik dari amerika dan eropa mencoba melakukan pengembangan sistem moneter islam. Tahap ketiga diatndai dengan upaya-upaya konkret untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan nonriba baik sektor swasta maupun pemerintah. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank islam dan lembaga investasi berbasis nonriba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonmi yang lebih mapan. Bank islam pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank islam ini adalah kerja sama antara negara-negara islam yang tergabung dalam OKI.
Tahap keempat kemudian ditandai dengan
pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktik ekonomi islam terutama
lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.[1]
Penerapan Ekonomi Islam dalam Sektor Perbankan
Syariah
1. Ideologi perbankan Syariah di Indonesia
Sektor keuangan
adalah prioritas utama dalam menyediakan pembiayaan bagi tumbuh kembangnya
berbagai usaha yang akan menerapkan bisnis berbasis syariah. Perkembangan yang berlaku dalam bidang perbankan di
Indonesia di era reformasi yaitu ditandai dengan disetujuinya Undang-undang No.
10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang mana dalam undang-undang tersebut telah
diatur dengan terperinci dasar hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat
dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, undang-undang tersebut
juga memberi wewenang dan arahan bagi bank-bank umum untuk membuka cabang
syariah atau bahkan mengkonversikan diri secara total untuk menjadi bank
syariah.
Nampaknya dalam perspektif
perkembangan, kebijakan terhadap dunia perbankan syariah di Indonesia sejak
sepuluh tahun terakhir banyak mengalami kemajuan. Sejak 19 tahun pertama kali
dicetuskan pada sekitar tahun 1973, kemudian tahun 1992 berdiri Bank Muamalat
Indonesia (BMI) sebagai bank yang beroperasi berlandaskan pada prinsip syariah yang
pertama. Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sekalipun tidak memuat pasal khas
yang menyebut prinsip syariah. Tapi sudah cukup menjadi dasar berdirinya bank
syariah pertama itu. Keberadaan bank syariah semakin kuat setelah lahirnya UU
Nombor 10 tahun 1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank syariah secara
ko-eksistensial dengan bank konvensional, jika selama 6 tahun BMI menjadi
pemain tunggal jasa perbankan syariah tetapi setelah lahirnya UU tersebut yang
banyak dipengaruhi oleh keadaan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Maka
bermunculan bank-bank syariah seperti bank syariah Mandiri dan lain-lain.
Di sebutkan dalam undang-undang No 10 tahun 1998 itu tentang
perubahan undang-undang perbankan tentang adanya ketentuan syariah, dalam pasal
1 butir 13 disebutkan : “Yang dimaksud dengan Perbankan adalah segala sesuatu
yang menyangkut tentang bank, kelembagaan, kegiatan usaha, cara dan proses
dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan arti dari prinsip syariah
adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain
untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain permbiayaan
berdasarkan bagi hasil (Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (Musyarakah). Prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (Murabahah) atau pembiayaan modal berdasarkan
prisip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah) atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(Ijarah Iqtina). Maka dengan adanya UU No. 10 Tahun 1998 berlaku dual
sistem dalam pentadbiran perbankan iaitu secara konvensional dengan
menggunakan bunga (interrest) untuk setiap peminjaman atau penyimpanan dana dan
mengunakan sistem bagi hasil yang merupkan dasar perbankan syariah.
Peluang dan kesempatan dari perkembangan diatas disambut
dengan menggalakan oleh mesyarakat perbankan, maka sejumlah bank mulai
memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para pegawainya.
Sebahagian bank ada yang mempelajari untuk mendirikan cabang dalam bank yang
sudah sedia ada dan sebahagian yang lain mengkonvermasikan diri untuk
menjadi bank syariah sepenuhnya, maka jenis perbankan syariah di Indonesia
dibagikan kepada dua bahagian :
a. Bank umum syariah, yaitu bank bank
yang mengkonversikan diri sebagai bank syariah secara penuh, contohnya adalah
bank Syariah Mandiri (BSM) iaitu bank yang merupakan hak milik kerajaan pertama
yang berlandaskan dalam operasionalnya pada prinsip syariah.
b. Bank cawangan syariah dari Bank
Konvensional, perkembangan yang baik terjadi di era reformasi ini dalam bidang
perbankan di Indonesia adalah diperkenankannya konversi cabang bank umum
konvensional menjadi cabang syariah.
Undang-undang
No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan merupakan perubahan terhadap undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dalam undang-undang No. 10 tahun 1998
ini telah dirubah dan dimasukan tambahan undang-undang baru khasnya berkaitan
dengan bank syariah. Kalau kita analisis berdasarkan Undang-undang tersebut
antara bank syariah dan bank konvesional dalam beberapa hal memiliki persamaan,
terutama dari segi teknikalnya penerimaan uang mekanisme transfer, syarat-syarat
umum untuk mendapatkan pembiayaan, tetapi terdapat perbedaan yang
menyangkut aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan
kerja.[2]
Tantangan berat
perbankan syariah adalah menjadi sesuai syariah sekaligus tetap dapat
menjalankan fungsi perbankan.Bank syariah dihadapkan pada masalah menggabungkan
dua konsep yang kontradiktif. Di satu sisi harus menggantikan fungsi perbankan,
dan di sisi lain tidak boleh melanggar syariah. Untuk mewujudkan harapan itu,
pada dataran ideal, perbankan syariah harus mampu menunaikan tiga tugas
berikut:
1) Menjalankan
semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi, seperti pembiayaan
(financing), memperlancar dan mempermudah urusan transaksi, mengumpulkan dana
masyarakat, kliring dan transfer, terlibat masalah moneter dan praktek-praktek
perbankan lainnya.
2) Berpegang
pada hukum-hukum syariah, sekaligus menyesuaikan tuntutan zaman, terutama
pengembangan setiap aspek ekonomi,
3) Berpegang
pada asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar, yang sesuai ideologi dan kaidah
syariah Islam, serta tidak sekadar menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum
keuangan yang dibangun di atas dasar muamalah ribawiyah (transaksi riba).
Tiga tugas
tersebut harus ditunaikan bank syariah agar dapat berjalan seiring perkembangan
zaman dengan semua fenomena dan problema kontemporernya.[3]
2. Realita Perbankan Syariah di
Indonesia Hari Ini
Tak ada gading yang tak retak. Tampaknya pribahasa itulah
yang sesuai dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada saat ini.
Di balik perkembangan perbankan syariah yang diinilai cukup baik, ternyata
perbankan syariah masih memiliki beberapa permasalahan.
Permasalahan pertama datang dari internal perbankan syariah
itu sendiri. Perkembangan perbankan syariah yang baik tidak diimbangi dengan
pengetahuan dan pemahaman yang baik dari karyawan perbankan syariah terhadap
perbankan syariah dan ekonomi Islam. Sehingga adanya anggapan di masyarakat,
kinerja bank syariah tidak sebaik kinerja bank konvensional. Hal ini bisa
berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Kedua,
bank syariah masih memiliki fasilitas-fasilitas yang belum terintegrasi dengan
baik, terutama fasilitas Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Bank syariah masih
menggunakan mesin ATM bank lain jika nasabahnya ingin melakukan transaksi
melalui mesin ATM. Meskipun ini merupakan kemudahan dari layanan ATM bersama,
dimana nasabah yang memiliki kartu ATM dari bank tempat ia mempunyai nomor
rekening bisa melakukan transaksi di mesin ATM bank lain, layanan ini
menimbulkan ketidaknyamanan bagi nasabah. Ketidaknyamanan tersebut adalah
nasabah akan dikenakan fee jika menggunakan mesin ATM bank lain untuk bertransaksi
(misalnya tarik tunai, cek saldo, transfer, dll).
Ketiga, jumlah cabang bank syariah di beberapa daerah juga
masih sangat terbatas. Hal ini berdampak pada minimnya masyarakat yang
menggunakan jasa perbankan syariah. Market share perbankan syariah pun menjadi
tidak begitu tinggi. Seperti yang dilampirkan situs infobank.com bahwa market
share perbankan syariah belum mencapai 5 % dari total asset bank secara
nasional.[4]
Selanjutnya, permasalahan juga datang dari kebutuhan akan regulasi
Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang belum terealisasi,
mengingat pentingnya untuk mendukung
terwujudnya sektor jasa keuangan syariah yang sesuai dengan prinsip syariah. [5]
Dan puncak dari permasalahan di atas
adalah, masih kurangnya sosialisasi pada masyarakat tentang perbankan syariah.
Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang bank syariah.
Seperti, masyarakat masih beranggapan sistem bunga pada bank konvensional dan
sistem bagi hasil pada bank syariah merupakan dua sistem yang sama, sehingga
masyarakat lebih memilih menggunakan jasa perbankan konvensional yang dinilai
telah berpengalaman dalam menjalankan usaha perbankan walalupun sebenarnya
perbankan konvensional memberikan sesuatu yang negatif bagi nasabahnya, baik
dari segi dunia maupun akhirat.
Melihat realitas
yang terjadi, perbankan syariah akhir-akhir ini sebagai lembaga pembiayaan untuk berbagai
usaha yang coba menghindari riba, namun fakta operasioanalnya masih banyak
memberatkan nasabah. Kehadiran bank syariah khususnya di Indonesia tidak
membawa perubahan berarti , karena misi perbankan syariah masih belum bisa
membawa kemaslahatan bagi umat. Hal mana disebabkan praktiknya belum
mencerminkan sepenuhnya terhadap upaya untuk fokus mengeluarkan umat dari
cengkraman riba yang membawa kemiskinan dan bencana.
Bank syariah hadir karena
disyariahkan, hal mana ditunjukkan oleh mayoritas bank syariah berafiliasi atau
tunduk kepada bank konvensional yang membentuknya. Dengan kata lain hanya
strategi perbankan konvensional mengakomodir pasar syariah di Indonesia.
Meskipun ada bank Muamalat yang dibentuk secara tersendiri. Namun tetap saja
secara nasioanal bank yang disyariahkan
tersebut masih tunduk dibawa kebijakan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
secara makro berada dalam koridor sistem riba. Walaupun demikian keberadaan
bank syariah boleh diterima karena umat Islam masih punya piihan yang baik
diantara pilihan terburuk.
Berdasarkan situasi yang dimaksud,
dibutuhkan lembaga pembiayaan alternatif bebas riba untuk membiayai semua jenis
usaha yang akan diimplementasikan berdasarkan sistem ekonomi kaffahisme. Mitra
pembiayaan harus menganut azas bisa bagi untung dan rugi. Pilihannya hanya
dengan membentuk lembaga pembiayaan baru, dimana proses awal bisa memakai badan
hukum koperasi simpan pinjam yang bebas riba.[6]
Proyeksi
Sektor Perbankan Syariah Dimasa Mendatang
Setelah mengetahui realita perbankan
syariah di Indonesia seperti yang dijelaskan sebelumnya, tentu akan timbul
pertanyaan bagaimana nasib perbankan syariah di Indonesia esok?. Seperti yang Allah jelaskan di Al Quran,
Surat Ar Rad ayat 11, “Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, sampai kaum tersebut mengubah keadaannya sendiri.”
Bank syariah masih bisa tumbuh lebih baik lagi dari saat ini jika memang serius
melakukan perubahan dan perbaikan.
1) Pembenahan menuju idealitas
Apa yang menjadi permasalahan saat ini harus segera
dibenahi. Mulai dari intern perbankan syariah itu sendiri (misalnya up
grading knowledge karyawan perbankan syariah tentang ekonomi Islam) sampai
masalah efektivitas regulasi dewan syariah oleh majelis Ulama Indonesia dalam
megawasi jalannya aktivitas perbankan agar tetap berada dalam koridor syariah.
Perbaikan sangat diperlukan mengingat perbankan syariah
sangat berpotensi menguatkan perekonomian negara. Perbankan syariah juga
mendapat dukungan dari Lembaga Keuangan Islam di seluruh dunia sehingga
nantinya membantu perkembangan perbankan syariah maupun perekonomian negara
menuju arah yang lebih baik.[7]
Hal penting
yang juga tidak boleh dilupakan adalah memaksimalkan sosialisasi perbankan
syariah di masyarakat. Jika masyarakat sudah memiliki pengetahuan serta pemahaman
yang baik mengenai perbankan syariah dan ekonomi Islam, maka masyarakat tidak
perlu ragu lagi terhadap kinerja perbankan syariah. Sehingga, market share bank syariah akan lebih
meningkat dan mampu melampaui target Bank Indonesia, yaitu pada Desember 2008,
market share bank syariah hampir mencapai 5 % dari total asset bank secara
nasional. Namun BI sudah tidak bicara market share 5% lagi. Tapi, kini
yang di prioritaskan soal pertumbuhan, growth-nya yang penting karenaItu
akan lebih menarik dilihat oleh investor
karena bank syariah punya growth yang
tinggi, yakni di atas 34%. Ini yang ingin ditampilkan dibandingkan dengan market
share. [8]
Oleh karena itu masyarakat
pun Insya Allah akan diridhoi Allah karena sudah menerapakan hukum dan
aturan-Nya terutama dalam bidang ekonomi. Apa lagi dewasa ini sudah banyak
lembaga-lembaga kajian ekonomi Islam, baik untuk masyarakat umum atau kalangan
tertentu seperti mahasiswa.
2) Mewujudkan
Karakter Bank Syariah
Membumikan ketiga tugas bank syariah sangat tergantung
kebijakan para praktisi, para pengawas syariahnya, serta pemerintah, untuk
mengarahkan perbankan syariah memiliki karakter berbeda dengan perbankan
konvensional. Inilah karakter yang dapat membuatnya menunaikan tugas-tugasnya
itu.
3) Bersih
dari semua bentuk riba dan muamalah yang dilarang syariat
Ini
harus menjadi jorgan dan syiar utama bank syariah. Tanpa itu, ia tidak boleh
menyebut lembaga keuangan syariah. Dr. Ghorib al-Gamal menyatakan,
karekteristik bersih dari riba perbankan syariah adalah karekteristik utamanya
dan menjadikan keberadaannya seiring tatanan yang benar untuk masyarakat Islam.
Lembaga keuangan syariah harus mewarnai seluruh aktivitasnya dengan ruh dan motivasi
akidah, yang menjadikan para praktisinya selalu merasa bahwa aktivitas mereka
tidak sekadar bertujuan merealisasikan keuntungan semata. Namun perlu
ditambahkan bahwa itu adalah salah satu cara berjihad dalam mengemban beban
risalah dan upaya menyelamatkan umat dari praktek-praktek yang menyelisihi
norma dasar Islam. Di atas itu semua, para praktisi hendaknya merasa
aktivitasnya adalah ibadah dan ketakwaan yang akan mendapatkan pahala dari
Allah bersama balasan materi duniawi yang didapatkan. Mengarahkan segala
kemampuan untuk mengembangkan dana masyarakat (at-Tanmiyah) dengan jalan
is-titsmar (pengembangan modal) melalui usaha, bukan dengan jalan utang
(al-Qardh) yang mengahasilkan keuntungan. Untuk itu, lembaga keuangan syariah
harus dapat mengelola hartanya dengan salah satu dari dua hal berikut, yang
telah diakui secara syariah:
Investasi
pengembangan modal langsung dan riil (al-Is-titsmar al-Mubaasyir). Yakni, bank
melakukan sendiri pengelolaan harta perniagaan dalam proyek-proyek riil yang
menguntungkan.
Investasi modal
dengan musyarakah. Yakni,bank menanam saham dalam modal sektor riil, yang
menjadikan bank syariah tersebut sebagai syariek (sekutu) dalam kepemilikan
proyek tersebut dan berperan dalam administrasi, menejemen dan pengawasannya.
Bank menjadi syariek dalam semua yang dihasilkan proyek tersebut. Baik berupa
keuntungan maupun kerugian, sesuai prosentase yang disepakati para syariek.
Karena bank syariah dibangun di atas asas dan prinsip Islam, seluruh
aktivitasnya tunduk kepada standar halal dan haram yang telah ditentukan
syariah. Hal ini menuntut lembaga keuangan membuat beberapa terobosan berikut:
Pertama,
mengarahkan pengembangan modal (investasi) dan memusatkannya di lingkaran
produk barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan umum kaum Muslimin.
Kedua, menjaga
jangan sampai produknya terjerumus dalam lingkaran haram.
Ketiga, menjaga
setiap tahapan produknya tetap berada dalam lingkaran halal.
Keempat, menjaga
setiap penyebab produknya (sistem operasi dan sejenisnya) selaras dengan
aturan.
Kelima, memusatkan
pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan maslahat umum sebelum melihat kepada
profit yang akan didapat.[2]
4) Mengikat
pengembangan ekonomi dengan pertumbuhan sosial.
Lembaga
keuangan syariah tidak hanya mengikat pengembangan ekonomi dan pertumbuhan
sosial semata. Namun harus menjadikan pertumbuhan sosial masyarakat sebagai
asas. Dengan demikian, bank syariah harus memenuhi dua tuntutan ini sekaligus
untuk perbaikan masyarakat dan mewujudkan keadilan. Tidak sebagaimana umumnya
bank ribawi yang hanya menitikberatkan pada keuntungan, tanpa peduli
pertumbuhan sosial kemasyarakatan.
Mengumpulkan
harta nganggur dan mengalihkannya untuk aktivitas is-titsmaar (pengembangan
modal) dan pengelolaan. Targetnya, pembiayaan (tamwiel) pada proyek-proyek
perdagangan, industri dan pertanian. Ini karena kaum Muslimin yang tidak ingin
menyimpan hartanya di bank-bank ribawi berharap adanya bank syariah untuk
menyimpan harta mereka.
Memudahkan
sarana pembayaran dan memperlancar gerakan pertukaran perdagangan langsung
(Harakah at-Tabaadul at-Tijaari al-Mubasyir) di seluruh dunia Islam. Bank juga
bekerja sama mewujudkan gerakan tersebut, dengan seluruh lembaga keuangan
syariah dunia agar dapat menunaikan tugasnya dengan baik.
Menghidupkan
tatanan zakat, dan bank sekaligus merangkap sebagai lembaga zakat, yang
mengumpulkan harta zakat bank tersebut. Lalu manajemen lembaga keuangan sendiri
yang mengelola lembaga zakat tersebut.
Membangun
baitul mal kaum Muslimin dan mendirikan lembaga khusus untuk itu, yang dikelola
langsung oleh lembaga keungan tersebut.
Menanamkan
kaidah adil dan kesamaan terkait dengan untung dan rugi, dan menjauhkan unsur
ihtikaar (penimbunan barang agar menaikkan harga). Bank syariah harus berupaya
menyebarkan kemaslahatan untuk kaum Muslimin seutuhnya.
Beberapa
karakter perbankan syariah yang disampaikan sebagian ulama itu bisa menjadi
tolak ukur evaluasi produk-produk perbankan syariah dan kegiatannya di
Indonesia.
Sebagai
penutup, pertama, kaum Muslimin harus mengetahui hakikat istilah-istilah
syariah agar tidak tertipu janji dan propaganda. Tolok ukurnya hakikat, dan
bukan istilah atau nama.
Kedua,
kami mengajak dewan pengawas syariah, praktisi perbankan syariah dan masyarakat
untuk memahami hakikat istilah yang digunakan produk perbankan syariah dan
membandingkannya dengan praktek yang diterapkan perbankan syariah di negeri
kita, agar semuanya bergerak berdasarkan ilmu dan berhenti pun dengan ilmu.
Harapan-harapan ke arah perbankan syariah yang lebih baik
dari hari ini masih sangat besar. Pintu ke arah itu masih terbuka lebar asalkan
semua pihak yang terlibat dalam perbankan syariah benar-benar serius
memperbaiki keadaan yang terjadi saat ini serta selalu Istiqomah di Allah yang
menuntun kebahagian dunia dan akhirat. [9]
[1] Muhammad Nur Rianto Al-Arif,
Dasar-Dasar Ekonomi Islam, (Cet.I; Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011),
h.72
[2]
http://www.knowledge-leader.net/2010/06/ekonomi-islam-di-indonesia-dulu-kini-dan-perspektif-masa-depan/ kamis,13/11/14
[3] http://www.citraislam.com/syariahnya-bank-syariah/ jumat, 14/11/14
[6] Zulfikar MS, Kaffahisme: Ideologi Ekonomi Masa Depan,
(Cet.I;Jakarta: Kompas Gramedia, 2014), H.60
[7] http://isefunsri.wordpress.com/2008/05/14/perbankan-syariah-di-indonesia-kemarin-hari-ini-dan-masa-yang-akan-datang/ kamis, 13/11/14
[9] http://www.citraislam.com/syariahnya-bank-syariah/ jumat, 14/11/14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar